Bulllying PPDS Undip dan Pentingnya Mencegah Tindakan Bullying

17 September 2024 | 48
Seorang petugas keamanan berjalan di samping spanduk kampanye Gerakan Zero Bullying yang terpasang di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), kawasan kompleks RSUP Dr Kariadi, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/8/2024). ANTARA FOTO/Aji Styawan/aww/aa.

Mediajustitia.com: Akhir-akhir ini publik digemparkan dengan adanya kasus dugaan perundungan yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro  (Undip). Kasus ini terjadi lantaran seorang mahasiswi PPDS Anestesi di Undip berinisial ARL (30) ditemukan meninggal karena diduga bunuh diri dengan menyuntikkan obat ke tubuhnya di kamar kosnya pada Senin (12/8/2024). Kabar ini kemudian menjadi bahan perbincangan di dunia maya lantaran pihak PPDS Anestesi Undip sempat berusaha menutupi kasus ini dengan menyebut korban sering menyuntikkan obat ke tubuhanya karena mengalami sakit syaraf. Namun, hal ini terbantahkan dengan ditemukannya buku harian korban yang di dalamnya berisi tumpahan depresi korban akibat perundungan yang dialaminya.

Dari kasus tersebut, beredar narasi yang menyebutkan bahwa korban nekat mengakhiri hidupnya karena tak kuat menjadi korban bullying senior. Pihak Kepolisian yang menangani kasus ini juga menemukan adanya dugaan bahwa korban dipaksa bekerja 18 jam sehari dan merasa tak kuat menghadapi seniornya yang sering memberi perintah sewaktu-waktu, hingga membuatnya ingin bunuh diri. Terhadap kasus ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI kemudian bertindak tegas dan langsung menghentikan PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr. Kariadi untuk sementara, sembari menunggu hasil penyelidikan.

Di pihak lain, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) segera berupaya untuk menyiapkan Permendikbud anti-bullying baru. “Kemendikbudristek dalam waktu dekat akan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi, sebagai penguatan dan perluasan peraturan untuk segala bentuk kekerasan yang meliputi kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan,” ungkap Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikburistek, Prof. Dr. rer. nat. Abdul Haris, MSc.

Apabila melihat pengaturan bullying di Indonesia, bullying diatur berdasarkan Pasal 1 angka 15a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (UU No 35/2014) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (UU No 23/2022) tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Bullying secara umum dikenal dengan istilah perundungan yaitu tindakan kekerasan terhadap anak. Dalam hal bullying terjadi di sekolah bullying dilakukan dengan tindakan agresif secara berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut.

Bullying dapat dilakukan dengan berbagai jenis tindakan, seperti: bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional yaitu tindakan yang melemahkan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengecualian, atau penghindaran, dan cyber bullying yang merupakan tindakan bullying dengan memanfaatkan media digital seperti menggunakan platform internet atau social media untuk mengirimkan pesan negatif kepada korban.

Tindakan bullying dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yang diatur dalam Pasal 76C UU No 35/2014 yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak”. Apabila hal ini dilanggar, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 80 UU No 35/2014, yaitu:

  1. Setiap orang yang melangggar ketentuan Pasal 76C UU No 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta;
  2. Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta;
  3. Apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar; dan
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 54 UU No 35/2014 juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, sebagai berikut:

  1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan Pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
  2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Di sisi lain, pelaku tindakan bullying juga dapat digugat secara perdata, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014 yang menyebutkan bahwa anak korban kekerasan (bullying) memiliki hak untuk menuntut ganti rugi materiil/immaterial terhadap pelaku kekerasan. Lebih dari itu, setiap anak yang menjadi korban sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf I, dan huruf j berhak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan. Gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi juga dapat dilakukan kepada pelaku bullying atas dasar telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata.

Meski demikian, adanya pengaturan terkait bullying ini pada praktiknya masih belum dapat menjadi solusi efektif dalam menyelesaikan permasalahan bullying di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya pernyataan dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyebutkan bahwa kasus kekerasan anak pada awal tahun 2024 sudah mencapai 141 kasus, dengan 35% di antaranya terjadi di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan, dan sejumah 46 anak yang menjadi korban mengakhiri hidupnya. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Data ini kurang lebih menggambarkan bahwa, tindakan bullying merupakan isu serius yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah. Tanggung jawab untuk menjamin hak keamanan bagi anak terutama di lembaga pendidikan sebagai tempat untuk belajar dan menggali potensi diri, seharusnya menjadi hal yang tidak dapat diganggu gugat dan dijamin dalam konstitusi UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan, tindakan bullying bagi anak yang menjadi korban akan sangat berpengaruh bagi kesehatan mental dan dirinya. Beberapa dampak yang dapat timbul pada diri korban, mulai dari kehilangan kepercayaan diri, meningkatnya self-criticism, keinginan untuk mengisolasi diri, kesehatan mental yang buruk, hingga pikiran untuk bunuh diri.

Tak hanya itu, tanggung jawab untuk menjadi keselamatan anak dari tindakan bullying juga sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama baik bagi penyelenggara pendidikan, guru dan orang tua, hingga masyarakat secara umum. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Bullying, melaksanakan sosialisasi dan edukasi terkait pencegahan dan bahaya bullying bagi anak, serta menanamkan rasa saling menghormati bagi anak mulai tingkat keluarga hingga masyarakat. Dengan demikian, diharapkan tindakan bullying tidak hanya menjadi persoalan dan tanggung jawab pemerintah, melainkan juga dapat diatasi dan menjadi perhatian bersama bagi masyarakat secara umum.

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...