Ketua Umum PB IMSU Lingga Pangayumi Nasution Soroti RUU KUHAP 2025

7 April 2025 | 43

Mediajustitia.com – Jakarta, 30 Maret 2025 – Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara (PB IMSU), Lingga Pangayumi Nasution, mengkritisi beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025 yang dinilai membuka celah penyalahgunaan kekuasaan, melemahkan sistem peradilan pidana, serta mengancam perlindungan hak asasi manusia.

Dalam pernyataannya, Lingga menegaskan bahwa revisi KUHAP seharusnya diarahkan untuk memperkuat supremasi hukum dan perlindungan hak-hak individu, bukan justru memberikan keleluasaan bagi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum serta melemahkan peran advokat dalam proses peradilan.

Pasal 108: Celah bagi Koruptor dan Teroris untuk Bersembunyi

Salah satu poin krusial yang mendapat sorotan adalah Pasal 108 yang melarang penyidik melakukan penggeledahan di ruang sidang DPR, DPD, DPRD, serta di tempat ibadah dan lokasi upacara keagamaan. Menurut Lingga, pasal ini berpotensi menjadi tameng bagi koruptor, pelaku kejahatan politik, hingga kelompok teroris untuk menghindari proses hukum.

“Ketika ruang sidang DPR atau tempat ibadah diberi imunitas mutlak dari penggeledahan, maka ada potensi besar bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan aturan ini sebagai tempat perlindungan. Ini bukan memperkuat keadilan, tetapi justru melemahkan kewenangan penegak hukum dalam memberantas korupsi dan kejahatan luar biasa,” tegasnya.

Pasal 94: Masa Penahanan yang Berlebihan, Bertentangan dengan Prinsip HAM

Ketentuan lain yang menjadi sorotan adalah Pasal 94, yang memperpanjang masa penahanan dari 20 hari menjadi 40 hari sebelum ada kepastian hukum terhadap tersangka. Lingga menilai aturan ini berpotensi melanggar prinsip due process of law dan bertentangan dengan Konvensi Internasional Anti Penyiksaan.

“Perpanjangan masa penahanan yang tidak proporsional ini membuka peluang terjadinya praktik kriminalisasi dan penyiksaan dalam tahanan. KUHAP seharusnya mengedepankan perlindungan bagi tersangka, bukan justru memberi keleluasaan bagi aparat untuk menahan seseorang dalam waktu yang lebih lama tanpa kepastian hukum,” kritiknya.

Pasal 16 Ayat (1): Penyidikan Tanpa Kontrol, Ancaman bagi Akuntabilitas Hukum

RUU KUHAP juga memberi kewenangan luas bagi penyidik untuk melakukan penyelidikan tanpa pemberitahuan kepada penuntut umum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 Ayat (1). Lingga menilai ini sebagai langkah mundur yang dapat menciptakan sistem peradilan yang tidak transparan dan rawan penyalahgunaan.

“Dalam sistem hukum yang demokratis, penyidikan harus tetap dalam kontrol jaksa sebagai bagian dari prinsip check and balance. Jika penyidik dapat bertindak sendiri tanpa supervisi, maka ini membuka pintu bagi praktik penyadapan ilegal, penyidikan bermotif politik, hingga potensi kriminalisasi terhadap individu tertentu,” ujarnya.

Pasal 24 Ayat (3): Memperkuat Ego Sektoral, Melemahkan Sinergi Hukum

Lingga juga menyoroti Pasal 24 Ayat (3) yang mengatur bahwa koordinasi antarpenegak hukum dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan, tetapi tetap memperhitungkan fungsi dan kewenangan masing-masing. Ia menilai pasal ini dapat memperkuat ego sektoral dan melemahkan koordinasi antar lembaga penegak hukum.

“Seharusnya, RUU KUHAP menegaskan pentingnya sinergi antar lembaga hukum, bukan justru membiarkan tiap institusi berjalan sendiri-sendiri. Kita sudah sering melihat bagaimana perselisihan antara kepolisian, kejaksaan, dan KPK memperlambat penegakan hukum. Pasal ini justru bisa memperburuk situasi,” jelasnya.

Pasal 343: Lemahnya Perlindungan terhadap Saksi dan Tersangka

Masalah lain yang mengemuka adalah lemahnya mekanisme perlindungan saksi dalam RUU KUHAP. Pasal 343 hanya menyebutkan bahwa keterangan saksi harus diberikan tanpa tekanan, tetapi tidak memiliki aturan yang jelas tentang perlindungan bagi mereka yang terancam karena memberikan kesaksian.

“Kita masih sering melihat kasus di mana saksi kunci mengalami intimidasi, bahkan dihilangkan. Tanpa regulasi yang tegas dalam KUHAP, perlindungan saksi akan semakin lemah, dan ini bisa berdampak pada lemahnya pembuktian dalam banyak kasus pidana,” ungkap Lingga.

Selain itu, ia juga menyoroti ketimpangan dalam perlakuan terhadap tersangka dan terdakwa. Salah satu contohnya adalah tidak adanya mekanisme kompensasi bagi mereka yang mengalami salah tangkap atau penahanan tanpa dasar yang sah.

“RUU ini masih belum berpihak pada korban salah tangkap dan mereka yang mengalami peradilan sesat. Tidak ada mekanisme ganti rugi yang jelas, padahal kesalahan penegakan hukum dapat merusak hidup seseorang secara permanen,” tegasnya.

Kritik terhadap Pembatasan Peran Advokat dalam Proses Peradilan

RUU KUHAP juga dikritik karena membatasi peran advokat dalam memberikan pembelaan bagi kliennya. Pasal 142 Ayat (3) Huruf b misalnya, melarang advokat memberikan pendapat di luar pengadilan terkait kasus yang sedang ditangani. Lingga menilai ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap advokat dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat.

“Peran advokat bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga dalam mengedukasi publik. Larangan bagi advokat untuk memberikan pendapat di luar pengadilan jelas bertentangan dengan Undang-Undang Advokat dan bisa menghambat transparansi proses hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga mengkritisi Pasal 146 yang memungkinkan tersangka menolak bantuan hukum hanya dengan menandatangani berita acara. Dalam praktiknya, banyak tersangka yang menandatangani dokumen ini akibat tekanan atau ketidaktahuan terhadap hak mereka.

“Hak atas bantuan hukum harus dijamin tanpa syarat, bukan dibiarkan menjadi opsi yang bisa dengan mudah diabaikan. Banyak tersangka yang justru kehilangan hak pembelaan karena ketidaktahuan atau paksaan dari pihak tertentu,” tambahnya.

RUU KUHAP Harus Dikaji Ulang, Jangan Disahkan Tanpa Partisipasi Publik

Atas berbagai permasalahan tersebut, Lingga Pangayumi Nasution menegaskan bahwa RUU KUHAP harus dikaji ulang secara mendalam dengan melibatkan akademisi, praktisi hukum, serta masyarakat sipil. Ia juga mendesak DPR untuk tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan undang-undang ini tanpa adanya diskusi yang luas.

“RUU ini harus diuji melalui kajian akademik dan debat publik yang komprehensif. Jangan sampai revisi KUHAP justru menjadi alat untuk melemahkan hukum dan memperburuk kondisi hak asasi manusia di Indonesia. PB IMSU akan terus mengawal proses ini untuk memastikan revisi KUHAP benar-benar berorientasi pada keadilan,” pungkasnya.

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...