Mediajustitia.com: Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023. SEMA ini mengatur lembaga swasta yang melakukan perjanjian dengan bahasa asing tidak langsung batal apabila tidak adanya itikad buruk dalam perjanjian tersebut.
Adapun isi SEMA tersebut ialah:
Lembaga swasta Indonesia dan/atau perseorangan Indonesia, yang mengadakan perjanjian dengan pihak asing dalam bahasa asing yang tidak disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu pihak.
Diketahui bahwa penggunaan Bahasa Indonesia Wajib digunakan dalam nota atau perjanjian yang melibatkan warga negara indonesia yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa), yaitu:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
Kebijakan ini dalam praktiknya menuai pro dan kontra. Salah satunya kasus perusahaan Indonesia yang mengadakan perjanjian dengan perusahaan Amerika Serikat dengan bahasa Inggris. Keduanya terlibat konflik yang berujung pada penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
MA dalam putusannya membatalkan perjanjian antara perusahaan asing dan perusahaan Indonesia karena perjanjian di antara keduanya dibuat menggunakan bahasa Inggris. MA Indonesia berpendapat perjanjian itu tidak sah karena bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Peraturan itu membuat investor asing gelisah, salah satunya disampaikan pihak Jepang pada 2017. Saat itu dilakukan sejumlah kunjungan dari pihak Kemenkumham-Akademisi ke Jepang. Tim delegasi Indonesia mendatangi kantor pengacara terkemuka di Jepang, Oh-Ebashi LPC & Partners. Oh-Ebashi LPC & Partners merupakan kantor hukum yang menangani berbagai perkara bisnis di Jepang dan dunia. Delegasi ditemui advokat senior Kobayashi Kazuhiro dan bertukar diskusi banyak hal tentang hukum di Indonesia. Kobayashi Kazuhiro mengutarakan kegelisahan pengusaha Jepang akan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor Tahun 2009.
Atas hal itu, perwakilan delegasi dari Indonesia, Dr Bayu Dwi Anggono, memahami kegelisahan investor tersebut.
“Di tengah persaingan perekonomian global yang semakin kompetitif antarnegara, ditemukan fakta ternyata tidak hanya aturan regulasi saja yang menjadi faktor dominan dalam menarik minat masuknya investasi dari negara lain, tapi juga bagaimana kualitas putusan pengadilan di tiap negara juga sangat mempengaruhi minat pelaku usaha luar negeri untuk menanamkan investasinya di Indonesia,” kata Bayu di sela-sela pertemuan.
Artikel ini telah tayang di detik.com