MediaJustitia.com: Mahkamah Konstitusi (MK) tolak gugatan Arifin Purwanto yang meminta Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) berlaku seumur hidup. MK menilai Arifin Purwanto tidak menguraikan secara jelas permasalahan konstitusionalitas dari keberlakuan SIM dan STNK saat ini.
Arifin Purwanto dalam permohonannya, menyebutkan masa berlaku SIM yang hanya 5 tahun tidak ada dasar hukumnya dan tidak jelas tolok ukurnya berdasarkan kajian dari lembaga yang mana. Kerugian lainnya adalah Arifin Purwanto harus mengeluarkan uang/biaya serta tenaga dan waktu untuk proses memperpanjang masa berlaku SIM setelah habis/mati.
Permohonan Arifin Purwanto soal masa berlaku SIM dan STNK ditolak MK. Pertama pada Juni 2023, MK menolak permohonan Arifin yang meminta masa berlaku STNK selamanya. Kini, pekan kemarin MK juga memutuskan menolak permohonan Arifin yang meminta masa berlaku SIM seumur hidup.
Ketujuh Hakim Konstitusi menyatakan menolak gugatan pemohon terkait masa berlaku SIM ini. Anwar Usman sebagai Ketua MK merangkap Anggota Hakim Konstitusi dalam konklusinya menyatakan menolak gugatan tersebut.
“Berdasarkan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945 dan seterusnya, amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman seraya mengetuk palu dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara No. 42/PUU-XXI/2023, Kamis (14/9/2023).
Menurut Enny Nurbaningsih sebagai salah satu Hakim Konstitusi yang membacakan pertimbangannya, diperlukan proses evaluasi dalam penerbitan SIM hal ini dipengaruhi oleh kondisi dan kompetensi seseorang yang berkaitan erat dengan keselamatan dalam berlalu lintas.
“Sejauh ini masa berlaku lima tahun tersebut dinilai cukup beralasan untuk melakukan evaluasi terhadap perubahan yang dapat terjadi pada pemegang SIM. Dalam batas penalaran yang wajar, kemungkinan terjadinya perubahan pada kondisi kesehatan jasmani dan rohani pemegang SIM dapat berpengaruh pada kompetensi atau keterampilan yang bersangkutan dalam mengemudi kendaraan bermotor,” jelas Enny.
Lanjutnya, perubahan tersebut dapat terjadi pada diri manusia seiring perkembangan zaman yang mempengaruhi kemampuan pengemudi dalam berkendara dan berlalu lintas di jalan.
“Terlebih, dalam rentang waktu lima tahun juga terbika kemungkinan terjadinya perubahan pada identitas pemegang SIM seperti nama, wajah, alamat, dan bahkan sidik jari. Hal ini sejalan dengan kondisi masyarakat moden yang di antaranya ditandai oleh tingkat mobilitas sosial dan geografis yang tinggi sehingga dapat menyebabkan perubahan pada aspek-aspek identitas tersebut,” ucapnya.
MK lebih dulu memutuskan menolak gugatan Arifin Purwanto soal masa berlaku STNK. Sebelumnya, Arifin Purwanto berharap tidak perlu ada pengesahan STNK yang dilakukan setiap tahun. Begitu juga dengan pelat nomor atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), menurut Arifin tak perlu ada pengesahan setiap tahun.
“Kami menganggap tidak ada kepastian hukum, kami mengajukan permohonan ke MK agar pasal dibatalkan yang intinya diganti menjadi TNKB dan STNK berlaku selamanya karena menyangkut benda berlaku selamanya. Kalau kami meninggal dunia, kalau barang itu masih ada harapannya masih ada surat-suratnya,” kata Arifin dalam Sidang Perkara Nomor 43/PUU-XXI/2023.
Arifin menceritakan soal kasus yang dialami berkaitan dengan permohonan tersebut. Saat ia hendak memperpanjang STNK dan TNKB lima tahunan, kendaraannya harus dibawa ke Samsat. Alhasil, motor yang berada di Surabaya harus dibawa ke wilayah asalnya di Madiun.
“Kami mengajukan bayar pajak STNK dan TNKB sudah habis masa berlakunya, dan bayar pajak untuk bayar pajaknya sudah, sedangkan untuk TNKB belum jadi dengan alasan materialnya habis,” ungkap Arifin.
Namun, harapan agar STNK dan pelat nomor berlaku selamanya pupus. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Arifin terkait gugatan masa berlaku STNK dan pelat nomor sebagaimana tercantum dalam Undang-undang. MK menilai Arifin Purwanto tidak menguraikan secara jelas permasalahan konstitusionalitas yang dihadapinya dalam kaitannya dengan berlakunya norma Pasal 70 ayat (2) UU 22/2009.
“Pemohon hanya menguraikan permasalahan konkret yang dialaminya berkenaan dengan proses, bentuk teknis STNKB dan TNKB, serta masa berlakunya sehingga Mahkamah tidak dapat menilai ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya,” kata Ketua MK Anwar Usman.
Artikel ini telah terbit di detik.com