Mediajustitia.com – Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif resiprokal terhadap lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia, memicu kekhawatiran atas dampak ekonomi yang meluas. Indonesia, yang terkena tarif sebesar 32 persen di luar tarif dasar 10 persen, diperkirakan akan mengalami tekanan serius pada sektor ekspor dan stabilitas ekonomi makro.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, menyebutkan bahwa beban tarif tinggi ini akan memukul ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan. Menurutnya, biaya ekspor yang melonjak akan menekan produksi dalam negeri dan berpotensi menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Dampaknya adalah melambatnya produksi dan lapangan pekerjaan, karena terjadi pergeseran pasar dari yang berbiaya rendah ke yang berbiaya tinggi,” ujar Eisha, Kamis (3/4).
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Hanif Dhakiri, turut memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa memicu inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat jika tidak segera diantisipasi. Ia meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis, mengingat nilai tukar rupiah yang juga mengalami tekanan, mencapai Rp16.675 per dolar AS meskipun Bank Indonesia telah mengintervensi dengan cadangan devisa lebih dari US$4,5 miliar.
“Strategi moneter penting, tapi tanpa penguatan sektor riil dan fiskal, ekonomi kita bisa goyah,” tegas Hanif.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, bahkan memperkirakan risiko resesi ekonomi nasional pada kuartal IV 2025. Ia menyoroti sektor otomotif dan elektronik yang berada di ujung tanduk akibat turunnya permintaan dari pasar AS, dan kesulitan produsen untuk mengalihkan produk ke pasar domestik.
“Dampaknya bukan hanya ke ekspor AS, tapi juga ke volume ekspor ke negara lain. Efeknya bisa meluas hingga ke PHK dan penurunan kapasitas produksi industri,” ujar Bhima.
Namun demikian, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, melihat peluang di tengah tekanan tersebut. Ia menilai, pemerintah tidak perlu reaktif terhadap langkah AS, karena kecenderungan Presiden Trump adalah menggunakan strategi carrot and stick. Menurutnya, kebijakan ini kemungkinan akan disusul oleh proses negosiasi bilateral.
“Negosiasi langsung antar negara akan makin dominan karena multilateralisme sedang melemah,” jelas Fakhrul, Minggu (6/4).
Ia juga menilai, pelemahan rupiah saat ini adalah kondisi sementara menuju keseimbangan baru. Pemerintah disarankan untuk melakukan realokasi anggaran dan memperkuat komunikasi publik guna mengurangi ketergantungan pada ekonomi global.
Fakhrul menekankan pentingnya posisi netral Indonesia dalam geopolitik global, sembari terus menjalin hubungan strategis dengan negara-negara BRICS maupun OECD. “Diplomat ekonomi Indonesia harus lebih lihai dalam negosiasi agar kita bisa tetap kompetitif,” tambahnya.
Meski tantangan cukup besar, Fakhrul melihat ruang peluang dalam sektor-sektor seperti tekstil, otomotif, dan nikel, selama pemerintah mampu merespons dengan langkah yang terukur dan tidak emosional.