Mediajustitia.com – Pada 29 Oktober 2024, sidang kasus pencemaran nama baik yang melibatkan terdakwa Tony Budidjaja, SH., LLM., FCIArb, berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam dakwaannya, Tony dituduh mencemarkan nama baik Dr. Alexius Darmadi Kartjantoputro, Direktur Utama PT. SUMI ASIH, dan Muljadi Budiman, Komisaris PT. SUMI ASIH.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuduh bahwa Tony telah mengajukan laporan palsu kepada pihak berwenang pada 20 Desember 2017 di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, yang dianggap menyerang kehormatan kedua saksi tersebut.
Kasus ini berawal dari sengketa bisnis yang diselesaikan melalui arbitrase internasional. Tony menjelaskan bahwa setelah berhasil memenangkan perkara tersebut, ia memperoleh penetapan untuk menyita aset berupa tanah dan bangunan di Bekasi pada tahun 2017. Namun, saat proses eksekusi hendak dilakukan, pihak debitur melakukan perlawanan, yang menurut Tony, menjadi pemicu laporan kriminalisasi terhadap dirinya.
Sebagai seorang advokat, Tony mengamati adanya banyak kejanggalan dalam dakwaan yang disusun oleh JPU. Ia menyebutkan bahwa kesalahan kecil seperti penulisan yang salah hingga upaya untuk menutupi kebenaran dalam kasus ini menjadi perhatian utamanya.
“Nanti selengkapnya akan saya sampaikan dalam eksepsi,” ujar Tony. Dia berharap segera diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi dan meminta agar JPU mempertimbangkan dengan serius langkah hukum mereka.
“Saya baru mendapat panggilan sidang kemarin, jadi mohon dimaklumi kalau eksepsi yang saya buat nanti mungkin tidak terlalu rapi. Namun, saya lebih mengutamakan kecepatan agar perkara ini bisa diputuskan dengan cepat,” tambahnya.
Dalam sidang perkara No. 690/PID.B/2024/PN.JKT.SEL ini, Tony mengajukan eksepsi terhadap dakwaan yang disampaikan oleh JPU. Ia menekankan bahwa eksepsi ini hanya memuat pokok-pokok keberatannya.
Dalam eksepsi ini, terdakwa Tony Budidjaja menyoroti beberapa pelanggaran syarat-syarat formal yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menyusun surat dakwaan. Pertama, JPU melakukan kesalahan dalam mencantumkan identitas terdakwa, khususnya terkait umur.
Dalam surat dakwaan, usia terdakwa disebutkan 40 tahun, padahal kenyataannya terdakwa saat ini berusia 51 tahun. Kesalahan ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kepada siapa dakwaan sebenarnya ditujukan.
Mengingat perbedaan usia yang signifikan, hal ini memunculkan keraguan apakah dakwaan benar-benar diarahkan kepada terdakwa yang dimaksud, atau ada kesalahan dalam proses pendakwaan.
Selain itu, JPU juga tidak konsisten dalam menyebutkan alamat terdakwa. Pada awalnya, semua surat panggilan dari penyidik dikirimkan ke alamat kantor terdakwa di Gedung Sahid Sudirman Centre, namun secara tiba-tiba, surat-surat selanjutnya dialihkan ke alamat rumah pribadi terdakwa di Kompleks Angkasa Pura.
Perubahan ini tidak hanya membingungkan terdakwa, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat, seperti klien, staf, dan rekan kerja di kantor hukum Budidjaja International Lawyer. Inkonstistensi ini dianggap sebagai pelanggaran yang signifikan karena menambah kebingungan dalam proses hukum.
Kesalahan-kesalahan dalam mencantumkan identitas dan alamat terdakwa ini tidak hanya terjadi dalam surat dakwaan, tetapi sudah muncul sejak tahap penyelidikan dan penyidikan. Nama terdakwa bahkan beberapa kali ditulis salah, meskipun kesalahan tersebut telah diberi teguran untuk diperbaiki. Hal ini semakin memperlihatkan kurangnya ketelitian JPU dalam menangani kasus ini.
Selain itu, terdakwa juga mencatat bahwa JPU tidak mencantumkan pekerjaan terdakwa secara lengkap. Meskipun JPU memahami posisi terdakwa sebagai seorang advokat, mereka tidak menuliskannya secara jelas dalam bagian “pekerjaan terdakwa”.
Padahal, terdakwa dituduh melakukan tindak pidana saat menjalankan tugasnya sebagai advokat dari Vinmar Overseas Ltd. Kelalaian JPU dalam hal ini tidak hanya merendahkan profesi advokat, tetapi juga menyesatkan, mengingat pentingnya peran terdakwa sebagai kuasa hukum dalam kasus yang sedang berlangsung.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pencantuman pekerjaan terdakwa memiliki urgensi khusus, terutama jika tindak pidana yang dituduhkan dilakukan dalam kapasitas pekerjaan atau jabatan. Dalam perkara ini, jelas bahwa tindakan yang dituduhkan dilakukan oleh terdakwa dalam kapasitasnya sebagai advokat. Namun, JPU dengan sengaja atau lalai menutupi fakta tersebut.
Berdasarkan pelanggaran syarat-syarat formal ini, terdakwa mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim agar berkenan membatalkan surat dakwaan yang diajukan oleh JPU, karena tidak memenuhi ketentuan yang diatur oleh undang-undang.
Dalam persidangan, Tony Budidjaja menjelaskan alasannya tidak didampingi penasihat hukum. Menurut Tony, sebagai seorang advokat, ia merasa tidak perlu menunjuk penasihat hukum untuk mendampinginya. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak ingin kasus ini hanya ditangani oleh sekelompok advokat atau satu organisasi advokat saja.
Tony berharap semua advokat dan organisasi advokat di Indonesia turut peduli dan terlibat dalam kasus ini. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa perkara ini tidak bisa dipisahkan dari kasus sita eksekusi antara PT Sumi Asih dan kliennya, Vinmar Overseas Ltd., yang berlandaskan putusan arbitrase internasional yang telah disahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2012.
“Demi kelancaran proses hukum dan untuk menjaga martabat profesi advokat yang saya banggakan, saya memilih untuk membela diri tanpa penasihat hukum resmi di pengadilan. Dengan demikian, semua advokat masih bisa turut terlibat, baik di luar pengadilan maupun dalam forum-forum lainnya,” ujar Tony dalam wawancara.
Majelis Hakim diminta untuk memperhatikan bahwa banyak hal dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Salah satu contohnya adalah penyebutan “Putusan International Centre for Dispute Resolution No. 50 181 T 00101 tertanggal 4 Mei 2019” dalam dakwaan. Pernyataan ini dinilai keliru.
Fakta yang benar adalah putusan tersebut dikeluarkan pada tanggal 4 Mei 2009, atau 15 tahun yang lalu. Kesalahan ini mengarah pada dugaan bahwa JPU berupaya untuk menyesatkan pengadilan, dengan tujuan agar dakwaan tidak dianggap kadaluwarsa.
Selain itu, Majelis Hakim juga diminta untuk memperhatikan kesalahan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menyebutkan lokasi terjadinya dugaan tindak pidana. Dalam dakwaan mereka, JPU menyatakan bahwa peristiwa tersebut berlangsung di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun, pada Desember 2017, saat klien terdakwa, VINMAR OVERSEAS LTD, mengajukan permohonan perlindungan hukum dan laporan, alamat kantor Bareskrim Mabes Polri berada di Gedung Mina Bahari, Jalan Medan Merdeka Timur No. 16, Jakarta Pusat. Lokasi ini jelas terletak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bukan Jakarta Selatan.
Tony Budidjaja menegaskan bahwa saat menjalankan tugasnya sebagai advokat, hak imunitas yang dilindungi oleh undang-undang seharusnya berlaku. Namun, ia merasa bahwa saat ini hak imunitas advokat tidak efektif.
“Imunitas advokat saat ini sangat diragukan efektivitasnya. Banyak lembaga yang merasa bahwa advokat tidak memiliki perlindungan yang memadai,” ungkapnya.
Dalam wawancara dengan media, Tony mengungkapkan bahwa perjuangannya tidak hanya berfokus pada hak imunitas advokat, tetapi juga untuk menegakkan hukum dan kebenaran.
Menanggapi pertanyaan mengenai inisiatif sahabat pengadilan yang diajukan olehnya, Tony menjelaskan, “Sebenarnya, inisiatif sahabat pengadilan ini muncul dari teman-teman, lembaga dan organisasi advokat maupun non advokat sendiri. Tadi sempat diperlihatkan satu dokumen daftar yang mencantumkan sejumlah nama, mungkin saat ini ada belasan atau bahkan puluhan nama yang mereka masukkan secara sukarela, bukan atas inisiatif saya, tetapi dari mereka sendiri. Saya juga belum mengetahui secara pasti siapa inisiatornya, tetapi daftar itu beredar.”
Majelis Hakim kemudian memberikan waktu satu minggu kepada JPU untuk menanggapi eksepsi yang diajukan oleh Tony Budidjaja, dan sidang lanjutan dijadwalkan akan berlangsung pada Selasa, 5 November 2024, pukul 10 pagi.