Pertanyaan:
Akhir-akhir ini sedang ramai “manusia silver” di jalan raya. Dari bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mba-mba, bahkan ada juga anak-anak yang jadi “manusia silver”. Setahu saya hal tersebut masuk dalam eksploitasi anak, sebenarnya apakah ada aturan atau sanksi pidananya yang mengatur?
Jawaban:
Halo Sobat Justitia!
Terima kasih atas pertanyaannya.Pandemi COVID-19 membawa pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, terlebih pada sektor ekonomi. Terhentinya sejumlah aktivitas produksi dan berkurangnya pemasukan, berimbas kepada pengurangan tenaga kerja.
Untuk mengatasi hal tersebut, masyarakat melakukan berbagai cara agar dapat tetap bertahan hidup dan mendapat pemasukan, salah satunya ialah dengan menjadi “manusia silver”.
Manusia silver atau silverman adalah orang-orang yang mengecat sekujur tubuhnya dengan warna perak. Keberadaan mereka sering dijumpai di pinggiran jalan atau tempat-tempat umum lainnya untuk sekadar meminta-minta ataupun mengamen.
Tidak jarang juga ditemukan anak-anak yang turut serta dalam menjadi Manusia Silver akibat suruhan orang tua atau walinya. Dapat dikatakan bahwa tindakan orang tua atau wali yang mempekerjakan anak sebagai Manusia Silver dapat digolongkan sebagai tindakan eksploitasi anak secara ekonomi.
Sehingga, tentu saja ada ATURAN DAN SANKSI yang mengatur hal tersebut.
Pada hakikatnya, seorang anak berhak mendapat perlindungan atas perlakuan ekspolitasi, baik secara ekonomi ataupun seksual (Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak). Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa juga dapat diijumpai dalam Konvenan Internasional atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) diatur beberapa hak.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 Ayat (1)), serta berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (Pasal 61).
Orang tua, wali atau pihak manapun yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak, diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Hal ini diatur dalam Pasal 88 UU Perlindungan anak.
Kejadian ini tentu saja memilukan hati. Tidak hanya dari segi hak anak, melainkan juga dari penggunaan cat yang tidak baik untuk kesehatan.
Dilansir dari Kompas, Kak seto mengatakan bahwa untuk menghentikan eksploitasi pada anak perlu adanya peranan bersama baik dari kalangan pemerintah kota dan pencegahan. Ia juga mengingatkan agar masyarakat aktif membantu. Salah satu caranya dengan membantu dalam berani untuk melaporkan apabila ada kejadian eksploitasi pada anak di lingkungan masyarakat.
Sobat Justitia dapat melaporkan apat melaporkannya kepada pihak kepolisian di semua tingkat (Mabes Polri, Polda, Polres dan Polsek). Pihak yang bermaksud melapor dapat segera menuju ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu untuk menyampaikan laporan atau menghubungi Call Center Polri 110 yang menerima laporan selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu.
Selain itu, Sobat Justitia juga dapat menghubungi sejumlah lembaga di bawah ini :
- Layanan Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129
- Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A)
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga menjawab rasa penasaran Sobat Justitia.
Sampai jumpa di #TanyaMedjus selanjutnya!
Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara Media Justitia dan ATP Lawfirm. Informasi lebih lanjut dan konsultasi hukum silakan hubungi 0811 1342 112 (Della)