Penggelapan Dalam Jabatan, Ranah Pidana atau Perdata?

22 January 2024 | 209
Ilustrasi Karyawan

Mediajustitia.com: Dalam rangka menjalankan kewenangan dalam sebuah pekerjaan selalu terbuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap kewenangan yang sudah diberikan, baik internal maupun eksternal (ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Salah satu pelanggaran kewenangan adalah penggelapan, lalu apakah itu masuk ke ranah pidana atau perdata?

 

Edukasi Hukum kali ini akan membahas tentang ranah pidana atau ranah perdata bila terjadi Penggelapan dalam jabatan, simak selengkapnya!

 

Wujud penyimpangan kewenangan dalam hal ini adalah Penggelapan yaitu suatu tindakan yang berangkat dari kepentingan-kepentingan yang keluar dari tujuan yang telah digariskan, baik dalam perjanjian kerja maupun pencapaian tujuan perusahaan, dan itu mengarah ke Ranah Pidana.

 

Mengapa masuk ke Ranah Pidana, karena sesuai dengan Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  terdapat ketentuan, yang apabila dilihat dari kacamata praksisnya dapat berbentuk penggelapan dana kegiatan, mark-up nilai transaksi, pemalsuan tanda-tangan, pemalsuan surat keterangan dokter, penerimaan gratifikasi, pembobolan sistem aturan lembaga, dll. 

 

Walaupun sudah diatur dalam undang-undang, tidak semua perusahaan langsung menyerahkan kasus ini ke ranah hukum, biasanya diproses secara internal terlebih dahulu.

 

Apabila perusahaan langsung menyerahkan ke ranah hukum pasal apa saja yang digunakan dalam kasus penggelapan?

Pasal 372 KUHP yang berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagainya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling besar sembilan ratus ribu rupiah. “ 

 

Adapun tindak pidana penggelapan dalam jabatan adalah Penggelapan Dengan Pemberatan, atau penggelapan dalam bentuk pokok yang ditambah unsur-unsur perbuatan tertentu yang menjadikan ancaman pidananya menjadi lebih berat, sebagai berikut:

 

  1. Pasal 374 KUHP

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencairan atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.”

  1. Pasal 488 Undang-undang No.1 Tahun 2023 mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. 

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp 500 juta.” 

 

Menurut Adami Chazawi dalam bukunya Kejahatan Terhadap Harta Benda (hal.86), penggelapan dengan pemberatan adalah beradanya benda di tangan pelaku yang disebabkan karena adanya hubungan kerja, karena mata pencaharian/profesi, dan karena mendapatkan upah untuk itu.

 

Hal ini menunjukan adanya hubungan khusus antara orang yang menguasai benda tersebut, dimana terdapat kepercayaan yang lebih besar pada orang itu. Sehingga, seharusnya ia lebih memperlihatkan keselamatan dan pengurusan benda itu, dan bukan menyalahgunakan kepercayaan yang lebih besar pada orang itu. Sehingga, seharusnya ia lebih memperhatikan keselamatan dan pengurusan benda itu, dan bukan menyalahgunakan kepercayaan yang lebih besar itu.

 

Jika subjek pelaku tindak pidana ini adalah pegawai negeri dan atau pemegang jabatan publik lainnya, maka ketentuan Pasal 415 KUHP dapat dijadikan acuannya.

 

Jika pegawai atau pejabat ini diberi kewenangan menguasai uang atau surat berharga dan kemudian menyalahgunakan kewenangan ini, baik dilakukannya sendiri maupun membiarkannya dilakukan oleh orang lain, maka perbuatan ini juga dikualifikasikan sebagai penggelapan. 

 

Kualifikasi tindak pidana ini juga beririsan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Indriyanto Seno Adji menjelaskan bahwa pegawai negeri atau pejabat publik yang melakukan penggelapan terkait kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan tertentu termasuk sebagai Administrative Penal Law, yaitu perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kewenangan administratif, tetapi mempunyai sarana Penal (pidana) sebagai sanksi atas pelanggarannya.

 

Sekian Edukasi Hukum kali ini, semoga sobat justitia dapat memahami terkait ranah pidana atau perdata untuk kasus penggelapan dalam jabatan.

 

Simak Edukasi Hukum lainnya hanya di www.mediajustitia.com

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...