MediaJustitia.com: Setelah sebelumnya dihebohkan dengan kasus pembunuhan Brigadir J, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo (20), anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo terhadap David Ozora (17). Aksi penganiayaan tersebut diduga dilakukan akibat adanya perlakuan tidak menyenangkan kepada pacar Mario, AG (15) oleh D yang berstatus sebagai mantan pacar.
Kasus tersebut viral lantaran penganiayaan yang dilakukan oleh Mario terekam oleh kamera dan viral di media sosial. Akibat tindakan tersebut, D tidak sadarkan diri selama beberapa minggu. Sementara itu, Rafael Alun juga menuai sorotan publik lantaran hartanya mencapai Rp56 miliar dan berujung pada pemecatan secara tidak hormat
Sebelumnya, AG berstatus sebagai saksi (anak yang berhadapan dengan hukum),hingga akhirnya pada 2 Maret ditetapkan sebagai “anak yang berkonflik dengan hukum”. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat awam, mengapa AG tidak disebut sebagai “tersangka” dan apakah ada hak-hak khusus yang akan diberikan kepada AG?
Perlu digarisbawahi, AG merupakan seorang anak yang masih berusia 15 tahun. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”), anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun namun belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum.
Pembedaan penyebutan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi perkembangan psikis bagi anak-anak yang masa depannya masih panjang. Sejatinya, identitas anak dengan status “berkonflik dengan hukum” juga tidak diperbolehkan untuk dipublikasikan, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 UU SPPA:
“Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
Pada hakikatnya, sistem peradilan pidana anak dilaksanakan pada asas pelindungan, keadilan, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi Anak, penghargaan terhadap pendapat Ana, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (pemulihan keadaan) dan wajib mengupayakan diversi (pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) demi memperhatikan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Apabila anak memang harus dijatuhi hukuman pidana, maka seyogyanya memperhatikan hak-hak yang tertuang dalam Pasal 4 Ayat (1) UU SPPA, yakni berhak:
Tidak hanya itu, anak juga wajib mendapat pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Nah Sobat Justitia, sekarang sudah tahu kan mengapa tersangka anak disebut sebagai “anak berkonflik dengan hukum” dan mendapat perlakuan khusus dari segi hukum acara dan pemenuhan hak-haknya? Jangan sampai keliru dalam melabeli tersangka lagi, ya! Nantikan Edukasi Hukum selanjutnya di mediajustitia.com, channel youtube Justitia Official atau Majalah Media Justitia edisi selanjutnya!