Amicus Curiae dalam Perselisihan Hasil Pilpres 2024: Suara Beragam dari Akademisi, Seniman, dan Politisi

17 April 2024 | 8
Sejumlah akademisi hingga seniman mengajukan amicus curiae ke MK terkait hasil sengketa Pilpres 2024.(CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

Mediajustitia.com: Sejumlah pihak terdiri dari para akademisi, seniman, mahasiswa, dan politisi telah mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasil Pemilihan Presiden atau Pilpres tahun 2024. 

Konsep hukum amicus curiae memungkinkan pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam suatu perkara untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan, dengan fokus pada memberikan opini daripada melakukan perlawanan.

Pada tanggal 28 Maret 2024, sebanyak 303 guru besar, akademisi, dan anggota masyarakat sipil mengirimkan surat amicus curiae kepada MK. 

Proses penyerahan dokumen tersebut dilakukan oleh dua perwakilan, yakni Ubedilah Badrun dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia (UI), yang secara langsung menyampaikan dokumen tersebut ke Mahkamah.

Mereka berharap MK tidak hanya mempertimbangkan angka perolehan suara dalam menyelesaikan sengketa Pilpres, tetapi juga memperhatikan secara menyeluruh pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilihan umum yang diatur oleh UUD 1945. Selain itu, mereka menegaskan pentingnya keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural formal.

Selain itu, pada Senin, 1 April 2024, sebanyak 159 sastrawan dan budayawan juga mengajukan amicus curiae kepada MK. Inisiatif ini dipimpin oleh budayawan Butet Kertaredjasa dan Goenawan Mohamad, dengan partisipasi dari beberapa seniman terkenal seperti Ayu Utami dan Agus Noor.

Ayu mengungkapkan bahwa tujuan utama para seniman adalah untuk terus berjuang dan terlibat dalam menjaga serta mempromosikan kebebasan. Kebebasan ini tidak hanya terbatas pada ekspresi dan pemikiran, tetapi juga mencakup kebebasan manusia secara keseluruhan. Kebebasan ini sangat bergantung pada integritas sistem pemilihan umum, yang merupakan fondasi dari kebebasan yang sejati.

Pada hari yang sama, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama sejumlah dosen dan peneliti di Fakultas Hukum UGM juga mengajukan amicus curiae. 

Mereka, antara lain, Sigit Riyanto, Maria SW Sumardjono, Herlambang P. Wiratraman, Richo Andi Wibowo, Rikardo Simarmata, Laras Susanti, Sartika Intaning Pradaning, Andy Omara, Faiz Rahman, Markus Togar Wijaya, Abdul Munif Ashri, dan Antonella.

Herlambang menjelaskan bahwa penyerahan berkas amicus curiae, yang terdiri dari 32 halaman, didasari oleh indikasi kuat akan adanya sejumlah praktik curang dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Ia menyebut bahwa praktik-praktik tersebut melibatkan intervensi dalam lembaga peradilan dan penyelenggara pemilu, serta penggunaan sumber daya negara.

Kemudian, pada tanggal 16 April 2024, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum dari UGM, Unpad, Undip, dan Unair juga mengajukan berkas amicus curiae kepada MK. Berkas tersebut disampaikan oleh Komisioner Bidang Pergerakan Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM, Muhammad Emir Bernadine.

Emir menyatakan bahwa amicus tersebut diajukan sebagai wujud tanggung jawab moral dan kepedulian mahasiswa hukum terhadap situasi pemilihan umum presiden dan pemilu secara keseluruhan pada tahun ini.

Terakhir, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai amicus curiae di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perselisihan hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. Dokumen amicus curiae telah dikirimkan ke MK pada tanggal 16 April 2024, yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat.

Dalam amicus curiae tersebut, Megawati menyampaikan harapannya agar putusan MK tidak hanya menjadi alat kekuasaan semata, melainkan juga sebagai instrumen keadilan. 

Ia mengutip kata-kata Kartini dalam menggambarkan harapannya akan munculnya fajar demokrasi yang sejati bagi bangsa Indonesia. Berikut penggalan kalimat yang ditulis Megawati dalam amicus curiae tersebut:

“Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa semoga ketuk palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam melainkan palu emas. Seperti kata ibu Kartini pada tahun 1911: ‘habis gelap terbitlah terang’ sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus menerus oleh generasi bangsa Indonesia.”

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...