MedaJustitia.com: Setelah sebelumnya diangkat sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) melalui Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Republik Indonesia Nomor 35208/M/KP/2019, Prof. Dr. Drs. Paripurna P. Sugarda, S.H., M.Hum., LL.M. dikukuhkan pada Kamis (16/11/23).
“Menetapkan, Pertama, terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2019, mengangkat, Prof. Dr. Drs. Paripurna P Sugarda, S.H., M.Hum., LL.M. sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hukum Dagang. Kepada yang bersangkutan diberikan kewenangan jabatan fungsional sebagai ketentuan yang berlaku,” pungkas Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D. (Rektor UGM).
Pada pidato pengukuhannya, Prof. Paripurna memaparkan topik mengenai “Meninjau Kembali Anggapan Yuridis Kekayaan Perseroan Merupakan Bagian dari Keuangan/Kekayaan Negara dan Perlakuannya di Masa yang akan Datang”
Adapun pidato tersebut diawali dengan concern besar terhadap status kekayaan negara yang dipisahkan dan ditanamkan ke dalam perseroan sebagai modal yang dianggap sebagai bagian dari keuangan/kekayaan negara yang menghalangi kebebasan mengambil keputusan-keputusan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip bisnis.
“Kita masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk perseroan terbatas atau perseroan bisa melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, secara optimal,” ujar Prof. Paripurna.
Terjadinya kekurangoptimalan kinerja persero, menurutnya, disebabkan oleh ketidakselarasan (disharmoni) hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang terletak pada perbedaan persepsi tentang kekayaan persero yang berasal dari kekayaan negara yang dianggap secara yuridis merupakan bagian dari kekayaan keuangan negara, sehingga yurisdiksi hukum privat dan publik tidak terpisahkan.
“Menganalisis suatu hukum dan peraturan, maka penilaian yang umum digunakan adalah apakah hukum dan peraturan tersebut sesuai dengan asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan sosial. Klaim terhadap kekayaan perseroan sebagai keuangan/kekayaan negara tidak sesuai dengan ketiga asas tersebut,” lanjutnya.
Dari segi kepastian hukum, terjadi distorsi terhadap eksistensi doktrin Business Judgement Rule (BJR) karena dengan adanya pada dasarnya prinsip BJR berorientasi pada efektivitas, efisiensi, kreatifitas, dan kemampuan berinovasi, sedangkan birokrasi pemerintah berorientasi pada ketaatan prosedural.
Klaim tersebut juga tidak selaras dengan asas keadilan, di mana keputusan bisnis yang diyakini diambil dengan itikad baik dengan memperhatikan prinisp kehati-hatian, tidak ada konflik kepentingan, tetap terancam masuk dalam jeratan tindak pidana korupsi apabila terdapat perbedaan pandangan tentang konsep kerugian.
“Ketiga, ketidaknyamanan dan ketidakberanian direksi perseroan dalam mengambil keputusan harus dibayar dengan hilangnya peluang keuntungan yang dapat diraih karena hilangnya BJR, sehingga dapat dianggap bertentangan dengan asas kemanfaatan sosial mengingat tujuan BUMN meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelas Prof. Paripurna.
Sebagaimana hukum merupakan sarana untuk mewujudkan tuntan agar persero dapat mencapai tujuannya, Prof. Paripurna berharap agar tuntutan perubahan dapat dibandang sebagai root of stimulus untuk menghadiri kontroversi berkepanjangan tentang kekayaan persero merupakan kekayaan negara agar tujuan persero bisa diraih secara lebih optimal.
Prof. Paripurna menghubungkan keadaan tersebut dengan adagium aequum et bonun est elc legume (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum), maka jika prinsip BJR tergerogoti dengan klaim, maka pengutamaan penerapan prinsip bisnis tidak dapat dilakukan secara optimal, sehingga melahirkan ketidakadilan perlakuan bagi direksi/komisaris persero.
“Dikenal juga adanya adagium ex non xogit ad impossibilia (hukum tidak bisa memaksa seseorang untuk melakukan hal yang tidak mungkin). Dalam konteks BUMN berarti bahwa hukum dan peraturan tidak meminta perusahaan untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin atau tidak praktis menghasilkan perubahan. Dengan demikian maka klaim sudah tidak diperlukan lagi,” tegas Prof. Paripurna.
Pada pidato pengukuhannya, Prof. Paripurna mengusulkan agar ketentuan dalam Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang BPK, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai klaim keuangan negara yang dipisahkan yang menjadi bagian dari kekayaan perseroan perlu ditinjau kembali; diartikan sangat sempit; diberlakukan sangat irit dan hati-hati agar terbangun kultur bisnis di lingkungan persero yang profesional.
“RUU BUMN yang akan datang juga perlu menyatakan dengan tegas bahwa kekayaan perseroan adalah milik perseroan dan bukan merupakan keuangan/kekayaan negara. Dengan penerapan asas penafsiran hukum berupa lex specialis derogat legi generali dan lex posterior derogat legi priori, maka keberlakuan klaim atas kekayaan perseoran sebagai keuangan/kekayaan negara dapat dikesampingkan,” lanjutnya.
Prof. Paripurna menutup pidato pengukuhannya dengan ungkapan terima kasih kepada berbagai pihak, sebagaimana menurutnya, jabatan Guru Besar diraih melalui proses yang panjang dan bukan hanya capaian akademik, melainkan juga refleksi perjuangan yang tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan pengorbanan banyak pihak.
Kegiatan dilanjutkan dengan pengalungan samir oleh Rektor UGM (Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D.) didampingi Ketua Guru Besar FH UGM (Prof. Dr. Sulistiowati, S.H.,M.Hum) sebagai tanda dikukuhkannya Prof. Paripurna.
Diketahui, Prof. Paripurna merupakan salah satu dari 465 Guru Besar aktif di UGM dan salah satu dari 15 Guru Besar aktif dari total 34 Guru Besar di Fakultas Hukum UGM.