Mediajustitia.com: Mahkamah Agung (MA) berdasarkan putusan 646 K/Pid.Sus/2019 dengan terdakwa seorang Pengacara Mohammad Amrullah dengan amar putusan membebaskan dari dakwaan. Dalam Pertimbangannya, MA menyatakan Pengacara tidak bisa dikenai Pasal Pencemaran Nama Baik.
Kasus bermula saat Mohammad Amrullah membela warga Sumber Agung, Banyuwangi pada April 2016. Waktu itu, warga melakukan aksi mogok makan menolak penambangan di lingkungannya.
Dalam tindakan itu, sejumlah wartawan media massa mewawancarai Mohammad Amrullah. Mohammad Amrullah lalu menyampaikan keluhan warga berupa kekhawatiran atas penambangan di lingkungannya.
Mendengar pernyataan Mohammad Amrullah membuat perusahaan tambang tidak terima dan melaporkannya ke kepolisian dengan delik UU ITE. Mohammad Amrullah dinilai pihak perusahaan telah mencemarkan nama baik perusahaannya.
Kasus bergulir pada pengadilan. Pada April 2018 jaksa menuntut Mohammad Amrullah selama 2 tahun penjara. Akhirnya, Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi menyatakan Mohammad Amrullah bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja atau tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik, sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu. Akhirnya, PN Banyuwangi menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dengan denda Rp 1,5 juta subsidair 2 bulan kurungan.
Hukuman itu dikuatkan di tingkat banding. Atas hal itu, Mohammad Amrullah tidak terima dan mengajukan kasasi. Gayung bersambut! MA mengabulkan kasasi itu.
“Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu atau dakwaan kedua. Membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut,” ujar majelis kasasi.
Duduk sebagai ketua majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Desnayeti dan Sumardjiatmo. Adapun panitera pengganti Maruli Tumpal Sirait.
“Memulihka hak terdakwa dalam kedudukan, kemampuan, harkat serta martabatnya,” ucap majelis hakim.
Mengapa MA Membebaskan Mohammad Amrullah?
“Orang yang diwawancara kemudian diliput, disiarkan dan ditulis bukanlah perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama ia tidak secara langsung memasukkannya ke dalam sistem elektronik. Pertanggungjawaban atas karya jurnalistik berada pada pengelola media, bukan pada nara sumber,” demikian kaidah hukum yang terkandung dalam putusan kasasi itu.
Berikut alasan lengkap Andi Samsan Nganro-Desnayeti-Sumardjiatmo tersebut:
- Bahwa kendati Terdakwa telah terbukti melakukan wawancara yang diliput, disiarkan dan ditulis oleh beberapa media baik online maupun media elektronik lainnya akan tetapi perbuatan Terdakwa tersebut tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebab;
- Terdakwa tidak melakukan secara langsung (direct) ke dalam sistem elektronik, melainkan pihak yang langsung melakukan ke dalam sistem elektronik adalah Para Wartawan media yang meliput, menyiarkan dan menulis hasil wawancara tersebut.
- Bahwa hasil wawancara Terdakwa dengan beberapa media karena sudah diolah menjadi berita sehingga termasuk karya jurnalistik, maka pertanggungjawabannya ada pada pengelola media yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
- Bahwa oleh karena itu apabila pihak PT BSI merasa dirugikan atas pemberitaan yang dimuat dan disiarkan beberapa media a quo dapat saja melakukan/menempuh Hak Jawab atau Hak Koreksi kepada media-media yang bersangkutan vide Pasal 5 juncto Pasal 1 Angka 11 dan angka 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
- Bahwa sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan, Terdakwa selaku Kuasa Hukum warga Sumber Agung pada hari Kamis tanggal 14 April 2016 sekitar pukul 12.00 WIB pernah menjadi narasumber ketika ada aksi mogok makan dari warga tersebut yang menolak keberadaan penambangan emas yang dilakukan oleh perusahaan.
- Bahwa Terdakwa selama menjadi Kuasa Hukum dalam mengajukan gugatan Class Action mewakili warga Sumber Agung, juga Terdakwa melakukan wawancara dengan media online dan tv pada tanggal 14 April 2016 yang mengeluarkan pernyataan adanya kekhawatiran warga (klien Terdakwa) mengenai penggusuran dan pemakaian merkuri.
- Bahwa isi pernyataan Terdakwa tersebut sejalan dan paralel dengan keterangan Saksi Eniek Ermawati, Saksi Zainal Arifin, perusahaan telah banyak menimbulkan kerugian, suara bising, jalanan rusak, banjir lumpur sampai ke laut.
- Bahwa untuk menentukan suatu lontaran kata-kata atau pernyataan apakah isinya itu merupakan penghinaan atau pencemaran nama baik menurut jurisprudensi tetap Mahkamah Agung tidak semata-mata merupakan penilaian Judex Facti Hakim Tingkat Pertama maupun Hakim Tingkat Banding melainkan juga tunduk pada penilaian Majelis Hakim Kasasi sebagai Judex Juris;
- Bahwa setelah mencermati isi pernyataan Terdakwa a quo karena ternyata masih relevan dengan kepentingan pembelaan warga yang merupakan klien Terdakwa maka perbuatan Terdakwa masih dalam batas yang layak dalam menjalankan profesinya sebagai Advokat, sehingga perbuatan Terdakwa tersebut bukan merupakan penghinaan.
- Bahwa sebagai seorang Advokat yang berpegang pada kode etik profesionalisme dan peraturan perundang-undangan dalam menjalankan tugas profesinya berhak mendapatkan perlindungan sesuai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 tanggal 14 Mei 2014 menyatakan Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Artikel ini telah terbit di detik.com