MK Kabulkan Gugatan Larang Kampanye di Tempat Ibadah, Ini pertimbangannya!

18 August 2023 | 16
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (Foto: Antara)

MediaJustitia.com: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan tolak tempat ibadah sebagai tempat kampanye yang diajukan anggota DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan, Yenny Ong.

Yenny Ong menggugat Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang berbunyi:

Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Adapun bunyi penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yaitu:

Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

MK mengabulkan permohonan dengan melarang kampanye di tempat ibadah.

“Mengabulkan permohonan untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan di channel YouTube, Selasa (15/8/2023).

MK menghapus Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Adapun 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu direvisi. MK menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu diubah menjadi:

Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Berikut ini pertimbangan MK melarang tegas kampanye di tempat ibadah:

Kampanye memiliki peran penting untuk memajukan kehidupan politik dalam berdemokrasi dengan cara memberikan informasi kepada pemilih, mendorong partisipasi aktif dalam proses pemilu, serta membentuk opini publik terkait dengan berbagai isu politik. Namun, kampanye juga harus dijalankan secara bertanggung jawab agar dapat memastikan proses pemilihan berlangsung secara adil dan transparan.

Terlebih lagi, apabila dikaitkan dalam konteks pemilu sebagai sebuah kontestasi politik maka kampanye (secara pragmatis) bertujuan untuk memenangkan pemilu melalui perolehan suara sebanyak mungkin dari pemilih. Artinya, dengan strategi kampanye yang baik, akan berdampak signifikan pada hasil pemilihan dan mendorong kandidat atau partai politik meraih kemenangan. Namun dalam upaya meraih kemenangan dalam suatu kontestasi, kampanye pun berpotensi menimbulkan efek negatif misalnya, munculnya polarisasi, diskriminasi dan stereotype, hingga kekerasan politik yang berujung pada perpecahan di masyarakat.

 Menurut Mahkamah, agar tidak ‘terjerumus’ ke dalam hal-hal tersebut, penting bagi para kandidat, partai politik, media dan masyarakat menjaga kampanye secara bertanggung jawab dan inklusif dengan menjaga kepentingan bernegara yang jauh lebih luas daripada hanya sekadar memenangkan kontestasi pemilu.

 Untuk mengurangi potensi negatif kampanye, adanya pembatasan-pembatasan penyelenggaraan kampanye memiliki landasan rasionalitas yang kuat guna menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses politik. Secara a contrario, kampanye yang tanpa pembatasan berpotensi menimbulkan penyebaran informasi palsu, fitnah, atau manipulasi dalam upaya memengaruhi pemilih. Oleh karenanya, pembatasan kampanye dapat membantu mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan atau tidak akurat.

Selain itu, dalam perspektif peserta pemilu, pembatasan kampanye membantu mempertahankan kesetaraan (equality) dalam pemilu, sehingga semua kandidat memiliki peluang yang setara untuk meraih dukungan. Pembatasan kampanye dalam pemilu dapat dilakukan dengan cara membatasi waktu pelaksanaan, media yang digunakan, pendanaan, serta lokasi atau tempat tertentu. 

Dalam perkara a quo, isu permohonan utama adalah terkait dengan pembatasan kampanye di lokasi atau tempat tertentu, yaitu fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Menurut Mahkamah, pembatasan kampanye berdasarkan lokasi atau tempatnya adalah didasarkan pada beberapa prinsip penting yang bertujuan untuk menjaga netralitas dan integritas proses pemilu, mencegah gangguan terhadap aktivitas publik pada tempat-tempat tertentu sehingga mampu mempertahankan prinsip keseimbangan dan sekaligus menjaga prinsip netralitas serta untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan fasilitas publik.

Bagaimanapun, prinsip keseimbangan mengharuskan adanya keseimbangan antara hak-hak dan kepentingan para kandidat atau partai politik yang berkampanye dengan hak-hak dan kepentingan masyarakat umum serta institusi publik. Sedangkan prinsip netralitas mengharuskan agar beberapa tempat publik tetap netral dari anasir politik praktis guna menjaga adanya kenetralan dalam penggunaan sumber daya publik. 

Berpijak pada kedua prinsip tersebut, larangan atau pembatasan beberapa tempat publik untuk tidak boleh digunakan sebagai tempat kegiatan kampanye merupakan keniscayaan dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Menimbang bahwa salah satu tempat yang oleh Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dilarang digunakan untuk tempat kampanye adalah tempat ibadah.

Dalam konteks ini, penting untuk menghormati sensitivitas dan nilai-nilai budaya, agama, dan kebebasan beragama dalam konteks kampanye pemilu. Meskipun kampanye politik adalah bagian penting dari proses demokrasi, namun harus diatur batasan-batasan sedemikian rupa agar tidak merusak keharmonisan dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama. Menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama.

Terlebih lagi, apabila diletakkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang semakin mudah terprovokasi dan cepat bereaksi pada isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas, etnis, dan agama tanpa merujuk dan menilai fakta yang objektif berpotensi memperdalam polarisasi politik di tengah banyaknya narasi dan opini yang berbeda terhadap fakta yang sama yang dapat bermuara pada melemahnya kohesi sosial.

Dalam hal ini, pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk berkampanye tidaklah berarti adanya pemisahan antara agama dengan institusi negara, namun lebih kepada proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan ranah di luar agama dalam masyarakat terutama untuk masalah yang memiliki nilai politik praktis yang sangat tinggi.

 Sebagai negara yang berlandaskan pada Pancasila sebagai ideologi negara, khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa, negara diharapkan melindungi dan mendukung pengembangan kehidupan beragama sebagai wahana menyuburkan nilai-nilai moral dan etis dalam kehidupan publik. Namun demikian, Pancasila pun tidak menghendaki terbentuknya negara berdasarkan agama tertentu, yang merepresentasikan salah satu aspirasi kelompok keagamaan karena hal tersebut justru akan mematikan pluralitas kebangsaan. Di bawah panduan nilai-nilai ketuhanan, Pancasila dapat memberikan landasan moral, etis, dan spiritual sebagai dasar filosofis bagi sistem demokrasi yang hendak dikembangkan, yaitu dengan mengembangkan etika sosial dan politik dalam kehidupan publik dengan memupuk rasa perikemanusiaan dan persatuan.

Berpijak dari pemahaman tersebut, larangan untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu di tempat ibadah menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila di tengah kuatnya arus informasi dan perkembangan teknologi secara global.

 Artikel ini telah terbit sebagian di detik.com

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...