Restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan, namun tata pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum dilakukan secara optimal.
Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Hal ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Sobat Justitia, yuk pahami lebih dalam bagaimana restorative justice menjadi alternatif penyelesaian perkara pidana yang tidak hanya fokus pada pemidanaan, tetapi juga mengedepankan dialog dan pemulihan yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Melalui artikel Edukasi Hukum kali ini, kita akan mengulas secara lebih jelas konsep, dasar hukum, serta implementasi nyata dari keadilan restoratif dalam sistem peradilan di Indonesia pada edukasi hukum berikut ini.
Secara yuridis, istilah keadilan restoratif pertama kali dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dalam Pasal 5 ayat (1), UU tersebut menegaskan bahwa sistem peradilan pidana anak harus mengedepankan prinsip keadilan restoratif. Meskipun setelah UU SPPA tidak ada undang-undang lain yang secara eksplisit menggunakan istilah tersebut, berbagai lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan aturan internal yang menyinggung penerapan keadilan restoratif.
Pada tahun 2020, Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020–2024 kembali menyoroti pentingnya keadilan restoratif sebagai bagian dari agenda nasional. Di dalamnya tercantum bahwa salah satu strategi dalam reformasi hukum pidana adalah dengan mendorong pendekatan keadilan restoratif. Strategi ini mencakup optimalisasi regulasi yang mendukung RJ, penguatan peran lembaga adat dan alternatif penyelesaian sengketa, serta pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban, termasuk korban pelanggaran HAM.
Merespons arah kebijakan tersebut, institusi-institusi penegak hukum mulai menyusun pedoman internal yang lebih terperinci mengenai penerapan keadilan restoratif. Salah satu langkah terbaru adalah terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024, yang memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pidana berdasarkan prinsip RJ.
Secara prinsipil, konsep keadilan restoratif sebenarnya telah tercermin dalam berbagai aturan dan putusan hukum jauh sebelum istilah ini digunakan secara formal. Hal ini sesuai dengan esensi RJ yang tidak terbatas pada mekanisme hukum semata, tetapi juga menitikberatkan pada pemulihan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat tindak pidana.
Oleh karena itu, berbagai ketentuan hukum yang mengandung unsur pemulihan dapat dipahami sebagai wujud penerapan prinsip keadilan restoratif. Contohnya adalah Pasal 14c dalam KUHP lama mengenai syarat khusus, mekanisme gugatan ganti kerugian dalam KUHAP, pemberian kompensasi dan restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta tindakan pemulihan dalam UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, dan regulasi lainnya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP memang tidak secara langsung menyebut istilah keadilan restoratif, tetapi nilai-nilai dan prinsip RJ tercermin dalam sejumlah pasalnya. Ini termasuk tujuan pemidanaan, pemberian maaf dari korban, hingga mekanisme pembayaran ganti rugi. Bahkan dalam praktik peradilan, telah muncul berbagai putusan yang mencerminkan penerapan prinsip-prinsip tersebut.
Fakta ini menunjukkan bahwa penerapan keadilan restoratif di Indonesia tidak selalu bergantung pada aturan formal yang secara eksplisit mengatur prosedurnya. Sebaliknya, prinsip RJ telah terwujud dalam berbagai regulasi dan praktik hukum yang berorientasi pada pemulihan kondisi korban akibat tindak pidana.
Pentingnya keadilan restoratif dalam sistem penegakan hukum Indonesia patut diapresiasi. Pendekatan ini menyeimbangkan antara pemrosesan perbuatan pelaku dan pemulihan terhadap korban, yang pada akhirnya menciptakan keadilan yang lebih utuh. RJ memberikan peran yang lebih aktif bagi korban, tidak hanya sebagai alat pembuktian, tetapi juga sebagai subjek penting dalam proses penyelesaian perkara pidana. Sebelumnya, sistem hukum cenderung berfokus pada pelaku tanpa banyak memperhatikan pemulihan bagi korban.
Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana ringan termuat dalam beberapa peraturan berikut ini:
Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.
Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:
Berikut tadi informasi serta pengetahuan yang dapat kami sampaikan kepada Sobat Justitia, semoga dengan informasi pada edukasi hukum kali ini Sobat Justitia dapat lebih memahami mengenai upaya restorative justice di negara kita.