Polemik Lagu Keke Bukan Boneka, Marcell Siahaan: Melanggar Hak Cipta!

6 June 2020 | 1031
Marcell Siahaan

MediaJustitia.com: Satu minggu terakhir, jagat media sosial digemparkan dengan Youtuber Rahmawati Kekeyi Putri Cantika (Kekeyi) yang viral dengan video musik berjudul Keke Bukan Boneka yang sampai hari ini  telah ditonton lebih dari 22 juta kali. Lagu tersebut dianggap sebagai ‘plagiat’ dari lagu yang dibawakan oleh Rinni Wulandari berjudul Aku Bukan Boneka yang diproduksi oleh Sony Music Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sekaligus musisi, Marcell Siahaan mengatakan bahwa Kekeyi dapat dikatakan melanggar Hak Cipta berdasarkan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta berbunyi :

“Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:

  1. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
  2. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
  3. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
  4. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.”

Dari pasal tersebut, menurut Marcell, lagu Keke Bukan Boneka terdengar menggunakan unsur substansial dari lagu Aku Bukan Boneka yang dinyanyikan oleh Rinni.

“Jadi memang pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh Kekeyi ini dengan menggunakan unsur yang ada pada lagu Aku Bukan Boneka , apalagi kan judulnya juga jelas ya Keke Bukan Boneka, seolah mengarahkan pendengarnya untuk kemudian berasumsi, dan kemudian ada bagian ‘hook’ dari lagu asli yang dipakai, bisa dikatakan mengandung unsur substansial dari lagu original-nya yaitu Aku Bukan Boneka dari Rini Wulandari. Namun ini tentunya akan jadi bahan perdebatan, akan seru ini ,”ujar Marcell saat dihubungi oleh MediaJustitia pada Sabtu, (6/6).

Marcell mengatakan bahwa ketentuan pada Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta sejauh ini sudah cukup baik dalam mengantisipasi permasalahan plagiarisme, walaupun tersirat, karena mengatur mengenai hal-hal yang substansial (dengan pendekatan kualitatif) dalam suatu karya, yang memang masih banyak terdapat celah-celah yang sangat mungkin diperdebatkan.

“Terus terang saya setuju dengan Pasal 44 (1) UU Hak Cipta ini, karena buat saya yang juga merupakan pelaku musik, ketika membuat suatu karya ada beberapa hal yang dianggap menjadi penentu atau parameter sehingga suatu karya itu menjadi penting, unik dan khas, seperti  bagian Chorus atau Reffrein-nya, bagian Intro dan banyak lagi,  yang secara kualitatif dapat dikategorikan sebagai hal substansial sebagaimana tertulis dalam Pasal 44 (1) UU Hak Cipta. Namun sayapun tidak bisa menafikan bahwa masih banyak sekali celah untuk diperdebatkan mengenai ‘unsur substansial’ ini,” ujarnya.

“Misalnya, ada lagu X dan kemudian substansi dari lagu X tersebut dipakai untuk sebuah konten baru, apapun itu,  jika secara kasar saja ketika mendengar konten baru tersebut pemahaman dan asumsi kita langsung menuju lagu X, dapat disimpulkan secara kasar saja bahwa sudah ada hal penting, yang unik dan khas dari lagu X yang dipakai, sehingga bisa untuk dimintakan pertanggungjawaban,” kata Marcell.

Pun Marcell mengatakan bahwa ketentuan pasal tersebut seolah meluaskan karena menggunakan metode kualitatif, dapat dijadikan patokan lebih spesifik dan terarah dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam ketentuan Hak Cipta sebelumnya yang menggunakan metode kuantitatif, yang mengacu pada jumlah penggunaan bar, not, dll.

“Unsur substansial ini terlihat seolah meluaskan, namun menjadi patokan-patokan yang lebih baik dan menurut saya itu bagus, dibandingkan dengan jika faktor pembandingnya hanya berdasar pada berapa bar atau not yang dipakai. Kalau kita berbicara dari perspektif substansial sebuah karya maka bisa lebih fokus pada hal-hal penting, unik dan khas apa saja dari karya asli, namun ini perlu ditentukan lagi secara lebih detail karena unsur penting, unik dan khas ini juga bisa jadi terlalu luas jangkauannya sehingga khawatir tidak terukur,” katanya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Marcell menganggap bahwa Sony Music Publishing mempunyai hak untuk menempuh jalur hukum ketika memang tidak ada permohonan maupun pembicaraan sebelumnya dari tim Kekeyi mengenai lagu Keke Bukan Boneka yang dikatakan mengambil unsur subtansial dari lagu Aku Bukan Boneka.

“Jadi, jika memang Sony Music Publishing merasa bahwa konten Kekeyi tidak pernah dimintakan izin dari pihaknya sebagai pemegang hak, maka sambil membawa bukti-bukti mengenai kemiripan substansial ini, ya mereka berhak mengajukan gugatan, memang sudah begitu mekanismenya dan kita tidak bisa lagi mengelak sebenarnya, kecuali bisa membuktikan sebaliknya. Hanya saja yang menjadi isu menarik disini adalah banyak orang-orang awam atau bahkan musisi-musisi yang tidak mengerti dengan benar mengenai aturan mainnya tapi mereka terus-menerus diberi panggung untuk berbicara dan berkomentar bahkan ikut-ikutan menghujat jadinya blunder kemana-mana,” pungkasnya.

Menanggapi video Kekeyi yang kembali diunggah oleh YouTube setelah di take down dalam beberapa hari kemarinmenurut Marcell bisa diasumsikan sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu melalui proses mediasi sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat 2c Peraturan Bersama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) No. 14 tahun 2015 dan No. 26 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik.

Dalam peraturan tersebut, salah satunya disebutkan bahwa pihak yang merasa dirugikan sebagai Pelapor dapat mengajukan keberatan kepada Kemenkumham untuk kemudian olehnya dilakukan verifikasi dan jika terbukti adanya pelanggaran Hak Cipta, hasil ini kemudian menjadi rekomendasi Kemenkumham kepada Kemenkominfo untuk melakukan take down terhadap konten yang mengandung pelanggaran Hak Cipta tersebut. Ketika kemudian mediasi dilakukan sehingga tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, maka dapat diajukan pencabutan permohonan take down tersebut dan video dapat kembali diunggah.

Dari kasus ini, Marcell berharap agar pemahaman mengenai HKI perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat awam, khususnya musisi agar lebih memahami ‘aturan main’ dan mengurangi resiko terjadinya pelanggaran Hak Cipta terutama masalah penggunaan karya orang lain tanpa ijin.

“Kita perlu melakukan edukasi dan sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat awam terutama kepada musisi-musisi sendiri karena banyak dari mereka tidak tahu dan tidak paham tentang ini, dan saya juga berharap agar media jurnalistik dapat membantu kita untuk mensosialisasikan ‘aturan main’ ini kepada semua pihak. Hak Cipta itu urusannya dengan ‘itikad baik’, salah satunya itikad baik untuk minta ijin dan permisi sama yang punya hak. Jadi kalau melanggar, ya sudah melanggar saja dan kemudian selesaikan dengan baik, nggak usah lagi bawa-bawa alasan bahwa pelapor mau ‘menutup rezeki orang lain’ atau apapun seolah terlapor jadi korban padahal kenyataannya sebaliknya,” ujar pelantun lagu Takkan Terganti ini.

Selain memahami ‘aturan main’, Marcell juga berharap agar pihak yang membuat karya dan atau konten agar membiasakan diri untuk langsung melakukan pendaftaran terhadap karyanya dalam rangka melindunginya dari pihak-pihak lain yang kurang bertanggung jawab. Selain itu, mengingat saat ini dalam dunia digital, kesesuaian data dan algoritma menjadi sesuatu yang penting dan mengharuskan pemilik konten agar selalu ter-update sehingga perlu orang-orang yang representatif yang paham betul situasi dan kondisi yang akhirnya dapat membantu, mendampingi sekaligus mengedukasi mereka agar tidak ketinggalan.

Pun dalam hal ini, menurut Marceli perlu ditumbuhkan sifat telaten dari para pencipta dalam menangani setiap konten-konten yang diciptakan.

“Semoga kita dapat menumbuhkan sifat lebih telaten terhadap konten-konten yang kita ciptakan, bukan hanya sekedar rasa bangga secara moral pada apa yang kita buat saja, tapi kita sadar bahwa apa yang kita buat itu mempunyai value , mungkin ini karya biasa saja tapi pada akhirnya punya nilai ekonomis ,terbukti hal se-simple Kekeyi saja jutaan yang nonton dan banyak yang mengapresiasi, artinya ada value ekonomis dalam karya tersebut sehingga perlu dijaga dan dilindungi,” katanya.

 

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...