Peran Organisasi Advokat di Tengah Disrupsi Teknologi

1 September 2020 | 238
Moh. Fernanda Gunawan Mahasiswa Hukum Bisnis Indonesia Jentera School of Law.

Sejak ditetapkan secara resmi sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, Virus Corona atau Corona Virus Disease-19 (Covid-19) menjadi pusat perhatian dunia dimana penyebaran wabah Covid-19 menjatuhkan banyak korban. Per-tanggal 25 Agustus 2020 tercatat 157.859 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 6.858 jiwa. Selain memakan korban, Covid-19 juga menyebabkan berbagai gangguan yang signifikan dan membawa implikasi besar pada bangsa ini, salah satunya di bidang hukum.

Seperti halnya proses persidangan yang harus tetap dilaksanakan, mengingat Pengadilan merupakan tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Pun keputusan hakim akan menentukan hak seseorang yang dilanggar atau diambil yang mana hal tersebut dilindungi oleh negara dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang termaktum di dalam konstitusi. Pada akhirnya, lembaga penegak hukum sepakat untuk menggelar sidang secara online berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan Badan Peradilan di Bawahnya tertanggal 23 Maret 2020. Implementasi sidang secara online tentunya memaksa para penegak hukum untuk lebih akrab dengan teknologi karena sangat terlihat pergeseran fundamental aktifitas peradilan, dari sebelumnya dilaksanakan secara nyata di Pengadilan, menuju aktifitas digital yang sifatnya telekonferensi. Hal tersebut dikenal dengan era disrupsi teknologi.

Disrupsi teknologi tidak hanya menjadi tantangan bagi dunia peradilan, namun juga menjadi tantangan bagi salah satu profesi hukum yaitu advokat. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi banyak perubahan dalam pelayanan jasa-jasa hukum oleh advokat dimana perkembangan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan dua abad sebelumnya. Gagasan mengenai kecerdasan buatan atauartificial intelligence (AI), block chain, Internet of Things (IoT), big data, dll telah membayangi imajinasi pada inovator lintas profesi, mulai dari perusahaan besar hingga level mahasiswa hukum yang secara langsung berpengaruh pada dunia advokat.

Pandangan mengenai perubahan dalam dunia advokat banyak dibahas oleh Richard Susskind, seorang penulis profesional asal Inggris yang sering membahas mengenai hubungan antara teknologi dengan dunia advokat. Menurut Susskind dalam bukunya yang berjudul Tomorrow’s Lawyers : Introduction to Your Future bahwa setidaknya terdapat tiga faktor perubahan dalam profesi hukum yaitu pertama, the more-for-less challenge, yaitu keinginan klien dalam mendapatkan lebih banyak layanan dengan harga yang lebih ekonomis, serta peluang dari firma hukum dan advokat untuk dapat menyediakan layanan tersebut. Kedua, liberalisasi, yaitu layanan hukum tidak hanya dapat diberikan oleh advokat yang mempunyai kualifikasi, namun layanan hukum tersebut juga dapat diberikan oleh profesional di bidang hukum yang tidak sepenuhnya berprofesi sebagai advokat. Hal tersebut karena terjadi karena adanya garis batas antara profesi hukum dan non-hukum yang menjadi sangat kabur. Ketiga, teknologi. Teknologi menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyediakan lebih banyak layanan hukum dengan biaya lebih sedikit dan tentunya lebih efisien. Hal tersebut diperkuat dengan kehadiran berbagai start up maupun legal tech yang mampu memberikan konsultasi hukum secara lengkap dan tanpa biaya.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum adalah politik, globalisasi, ekonomi serta faktor sejarah. Namun, dari semua faktor yang telah disebutkan sebelumnya, penantang terkejam terhadap perubahan profesi-profesi adalah teknologi. Hal ini dikarenakan hanya melalui penemuan 1 (satu) alat baru atau mekanisme kecil, ribuan orang dapat menjadi pengangguran. Berdasarkan hal tersebut lantas muncul diskursus bahwa eksistensi advokat akan tergerus oleh kecerdasan buatan.

Advokat Rasa Teknologi

Bidang hukum dan teknologi telah memiliki hubungan sejak lama yaitu sekitar 30 (tiga puluh) tahun yang artinya teknologi bukanlah hal baru bagi dunia hukum. Namun, penggunaan teknologi dalam industri hukum dan profesional hukum sebelumnya berjalan sangat lambat. Peningkatan penggunaan teknologi mulai berkembang secara dramatis ketika hadirnya revolusi industri 4.0. Pun peningkatan tersebut terjadi karena dibutuhkan transformasi pada layanan hukum dan ketersediaan data hukum.

Perkembangan zaman yang cepat menjadikan profesi advokat bertemu dengan berbagai permasalahan hukum yang begitu kompleks. Hal tersebut memaksa advokat untuk meningkatkan jasa pelayanan hukum terhadap klien dimana firma hukum di dunia perlu menghadapi segala tantangan di era disrupsi teknologi ini untuk bertahan dan bersaing dengan firma hukum lainnya dengan memanfaatkan teknologi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Richard Susskind bahwa dalam waktu dekat provesi advokat akan tereliminasi dengan mengatakan “For many lawyers, therefore, it blooks as if the part may soon be over,” dimana pelayanan hukum secara tradisional akan tergeserkan oleh pelayanan hukum yang efisien dan berbasis teknologi informasi. Juga melihat kecenderungan klien yaitu ingin mendapatkan lebih banyak layanan dengan harga yang lebih ekonomis (the more-for-less). Hal tersebut lantas menghadirkan apa yang penulis sebut sebagai ‘Advokat Rasa Teknologi’ dalam industri hukum dimana teknologi telah diimplementasikan untuk menyelesaikan permasalahan hukum layaknya seorang advokat.

Seperti di Amerika Serikat, untuk pertama kalinya salah satu firma hukum yaitu Baker Hosteler melisensi robot bernama Ross, robot yang mampu menangani perkara kepailitan. Namun, Bob Craig dan Andrew Arruda selaku Chief Information Officer dan Chief Executive Ross Inteligence berusaha “menenangkan” bahwa Ross tidak dimaksudkan untuk mengganti pengacara, hanya untuk mempercepat pengacara dalam belajar dibandingkan dengan berjam-jam membuka link internet, membaca beratus-ratus halaman kasus tanpa hasil maksimal.

Tak hanya itu, sebuah start up bernama LawGeex di Amerika Serikat membuat sebuah penelitian yang melibatkan beberapa profesor hukum untuk menguji kemampuan AI dalam meninjau dokumen hukum yang “diadu” dengan 20 advokat terkemuka di Amerika Serikat dalam mengidentifikasi 30 masalah hukum yang beragam seperti arbitrase, ganti rugi, dll dan dengan waktu 4 (empat) jam. Hasil riset menunjukan, advokat manusia mencapai nilai rata-rata akurasi sebesar 85%, sedangkan AI mencapai tingkat akurasi di atas advokat manusia yaitu 94% dalam mengidentifikasi permasalahan hukum. Penelitian tersebut juga mengukur dan membandingkan dari segi waktu, yaitu seberapa cepat mesin kecerdasan buatan tersebut mampu mereview 5 (lima) perjanjian (Non-Disclosure Agreements) dibandingkan dengan advokat berpengalaman tersebut untuk mengevaluasi objek perjanjian yang sama. Hasilnya, advokat manusia membutuhkan waktu rata-rata 92 menit, sedangkan AI hanya membutuhkan waktu rata-rata 26 detik.

Selain itu, Pactum yaitu AI yang membantu perusahaan dalam melakukan renegosiasi dengan kualitas tinggi. Juga ada Black Boiler yang menjadi contract tech platform dengan membantu melakukan negosiasi terhadap suatu kontrak. Penggunaan kedua robot tersebut meningkat, terutama selama pandemi Covid-19 yang membatas ruang antara para pihak untuk bernegosiasi.

Pentingnya Peran Organisasi Advokat

Pada tahun 1967, Presiden American Bar Association (ABA), Charles S. Rhyne, dengan percaya diri menyatakan bahwa komputer tidak akan menggantikan para profesi hukum dengan mengatakan: “To allay unfounded fears, it should be stated that the computer will never replace the trained legal mind. The computer is incapable of original thought, reasoning and creative achievement”. Namun, kehadiran revolusi 4.0. dengan kemajuan digitalnya dan hadirnya kecerdasan buatan serta big data merubah paradigma dan cara orang berhukum menjadi “alarm” disrupsi bagi profesi hukum terutama bagi  advokat yang sebelumnya tak tersentuh sama sekali.

Prediksi Richard Susskind sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan ini tentu menghadirkan pertanyaan bagi eksistensi advokat di era disrupsi teknologi saat ini, khususnya di Indonesia yang belum terlalu akrab dengan legal tech. Saat ini, terlihat bahwa advokat di Indonesia lebih banyak membuang waktu untuk hal-hal yang kontraproduktif. Seperti halnya konflik antarorganisasi dan intraorganisasi yang tak kunjung usai dan telah banyak menghabiskan energi yang akhirnya membuat organisasi advokat di Indonesia tidak kuat seperti organisasi advokat di negara lain yang memiliki daya tawar tinggi terhadap eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Faktanya, sebagai otokritik, advokat di Indonesia tidak banyak memberikan kontribusi yang signifikan dalam reformasi hukum. Ketika melihat kepada berbagai hasil penelitian, reformasi di bidang hukum pada era reformasi, terutama disrupsi teknologi saat ini, seolah-olah berjalan di tempat. Berbagai kasus mafia justru mewarnai peradilan yang melibatkan advokat, bahkan sampai pada jeruji KPK.

Oleh karena itu, disrupsi teknologi ini seharusnya bisa menjadi “alarm” keras bagi organisasi advokat untuk memikirkan eksistensi advokat di masa mendatang.Organisasi advokat perlu merancang pendidikan advokat yang menyentuh aspek legal tech dalam pembelajarannya, mengingat peran organisasi advokat sangat penting untuk menghadirkan advokat-advokat baru yang kreatif, inovatif, serta mampu berkolaborasi dengan teknologi yang telah merambah ke dunia hukum.Pun organisasi advokat perlu menyusun standar profesi baru untuk menyesuaikan praktek advokat dengan disrupsi teknologi yang diakselerasi oleh pandemi Covid-19 ini. Mengingat saat ini, pengadilan telah mengimplementasikan berbagai mekanisme baru seperti e-court sebagaimana yang telah dijelaskan di awal tulisan ini. Tak hanya itu, era disrupsi teknologi juga menuntut organisasi advokat agar senantiasa kritis serta aktif dalam melakukan advokasi ketika terdapat aspek-aspek kebijakan negara seperti e-court, online system submission (OSS), dll yang dianggap merugikan kepentingan advokat.

Terakhir, organisasi advokat juga perlu menyudahi konflik internal yang ada agar tercipta organisasi advokat yang mandiri, kuat dan disegani dengan segera bangun dan berbenah diri serta meningkatkan keterampilan, kualitas, dan profesionalitasnya melalui pendidikan maupun pelatihan agar dapat bekerja sama untuk berinovasi di era disrupsi teknologi, tidak sekedar beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.Ketika hal-hal di atas dapat terealisasi dalam waktu dekat, penulis optimis akan hadir sebuah masa depan gemilang yang menciptakan antara advokat inovatif dan teknologi canggih untuk memajukan bidang hukum di Indonesia.

Penulis: Moh. Fernanda Gunawan, Penulis merupakan mahasiswa semester 7 jurusan Hukum Bisnis di Indonesia Jentera School of Law. Saat ini, penulis menjadi Legal Intern di Assegaf Hamzah & Partners.

Tentang Penulis

Mau tulisanmu dimuat juga?
banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...