Perkembangan dan kemajuan teknologi tidak dapat kita tampik di era yang sudah mengalami banyak perubahan dalam segala aspek kehidupan menjadi serba digital seperti sekarang ini. Segala kebutuhan dapat diakses dan diakomodir oleh teknologi. Kemajuan teknologi yang kian masif tentu sangat memudahkan masyarakat untuk menjelajah berbagai informasi hingga berinteraksi dengan banyak orang dari segala belahan dunia melalui media elektronik yang terintegrasi dalam jaringan komputer, sehingga dijadikan sebagai keperluan komunikasi secara online baik satu arah maupun lebih (dunia maya). Bentuk adanya kemajuan teknologi ialah lahir media sosial yang identik dengan kehidupan sosial masyarakat, seakan media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan.
Melalui buku yang berjudul Social Media: An Introdcution, Michael Dewing menjelaskan “That the term of social media refers to wide range of internet-based and mobile services that allow users to participate in online exchange, contribute user created content, or join online communities. And the kind of internet services commonly associated with social media (sometimes referred to as web 2.0) include the following: Blogs, Wikis, Social Bookmarking, Social Network Sites, Situsupdate Services, Virtual World Content, Media-sharing Sites.[1]
Di samping banyaknya kelebihan atau manfaat dengan adanya media sosial, maka tidak luput juga terdapat kekurangan di dalamnya. Salah satu kekurangan dari media sosial adalah maraknya kejahatan siber. Kejahatan siber atau cyber crime secara garis besar merupakan segala tindakan ilegal untuk meraup keuntungan dengan pelbagai cara yang merugikan pihak lain melalui jaringan komputer dan internet. Di samping itu, cyber crime juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:[2]
a. Karakteristik yang bertujuan untuk memfasilitasi kejahatan (unauthorized access);
b. Unauthorized alteration or desctruction of data;
c. Mengganggu atau merusak operasi komputer;
d. Mencegah atau menghambat akses pada komputer.
Sehingga cyber crime merupakan tindakan yang tentunya akan berpotensi merugikan bagi para pengguna yang tidak memiliki kehati-hatian atau batasan dalam menggunakan media sosial. Salah satu kejahatan media sosial yang marak terjadi ialah profile cloning. Profile cloning merupakan suatu kejahatan dimana pelaku menggunakan foto, nama, dan identitas pada akun platform media sosial yang seolah-olah sebagai milik pengguna aslinya. Tentu profile cloning akan mengakibatkan kerugian bagi orang yang digunakan identitasnya dan akan tercemar jika disalah gunakan. Pada umumnya profile cloning digunakan oleh pelaku untuk menarik perhatian dari calon korban, media yang digunakan dapat melalui Facebook, Instagram, Linkedin, dan platform media komunikasi lainnya. Profile cloning merupakan tahap awal untuk pelaku melakukan tindak pidana penipuan seperti romance scam.
Romance scam merupakan penipuan yang biasanya dilakukan oleh sindikat, misalnya melalui jejaring sosial atau situs kencan online (dating site). Setelah pelaku melakukan profile cloning dengan menggunakan foto curian atau identitas palsu, dalam romance scam biasanya pelaku akan berpura-pura memulai hubungan dengan calon korban, sampai saat pelaku menganggap calon korban sudah tertarik dengan pelaku, maka pelaku akan melakukan tahapan selanjutnya yakni menggunakan berbagai alasan untuk menipu korban seperti berikut:[3]
a. Pelaku meminta uang untuk kerabatnya yang sedang terserang penyakit;
b. Pelaku meminta korban untuk menebus barang yang tertahan di imigrasi, dimana barang
tersebut diiming-imingi oleh pelaku untuk korban; atau
c. Pelaku meminta uang untuk mencari keluarganya yang hilang.
Sehingga alasan-alasan tersebut dapat membuat calon korban merasa iba dengan pelaku dan akhirnya mengirimkan uang kepada pelaku.
Profile cloning mengakibatkan banyak kerugian yang dialami oleh korban, seperti halnya kerugian yang terjadi di tahun 2021 dimuat dalam laman blog Fey Down yang merupakan aktivis WSC atau Waspada Scammer Cinta yang menyatakan bahwa total kerugian yang ditanggung para korban sebesar Rp. 4.920.000.000 (empat miliar sembilan ratus dua puluh juta rupiah). Dalam tulisannya, Fey Down juga membagikan rentang usia korban rata-rata 30 sampai 70 tahun di antaranya dengan status menikah atau janda. Fey Down turut menginformasikan modus yang digunakan di Indonesia adalah biasanya pelaku ingin menikahi korban dan berpura-pura akan mengirimkan sejumlah gaji pelaku ke korban, namun korban diminta terlebih dahulu untuk mengirimkan uang ke pelaku agar gaji pelaku dapat dikirim ke korban.
Dalam hal terjadi kejahatan profile cloning, maka perlu ditelusuri bagaimana Undang-Undang mengatur terkait ini. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telahhdiolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Di samping itu, dikarenakan profile cloning menggunakan atau memanipulasi foto orang lain agar seolah-olah seperti miliknya sendiri, maka perlu diketahui juga ketentuan dalam Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik, dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah).”
Adapun unsur-unsur dalam tindak pidana yang memanipulasi informasi elektronik, adalah sebagai berikut:
a. Kesalahan: dengan sengaja
b. Melawan Hukum: tanpa hak
c. Perbuatan: manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan
d. Objek: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
e. Dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik
Maka, hal ini perlu menjadi perhatian seksama bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai pengguna media sosial dan aparat penegak hukum. Perlu dilakukannya pengawasan dan perluasan cakupan dalam penanganan kejahatan siber. Seperti halnya implementatif polisi siber yang ada di Indonesia guna mengintai dan menyelidiki untuk melihat adanya dugaan suatu kejahatan siber yang terjadi, dimana kejahatan siber ini menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat.
REFERENSI
1. Michael Dewing. Social Media: An Introduction. Canada: Library of Parliament, 2012;
2. Didik M Mansur dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi Bandung: PT Refika Aditama, 2009;
3. Government of South Australia Commissioner for Victims Right. Fighting Scams and Fraud. Australia: Attorney General Department, 2013;
4. Gambar diakses di https://www.researchgate.net/figure/Single-site-profile-cloning-andcross-site-profile-cloning-attacks-5_fig1_260678766