Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia, membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan sehari-hari. Kegiatan yang semula dapat dilakukan secara bebas sempat terbatasi. Hal tersebut menempatkan penggiat usaha dalam kondisi force majeure dan tidak dapat menuntaskan kewajibannya. Tidak membaiknya kondisi ekonomi selama berbulan-bulan, mengakibatkan banyak perusahaan harus merumahkan atau memberhentikan karyawannya. Bahkan beberapa perusahaan juga harus gulung tikar dan mengundurkan diri dari kegiatan berusaha.
Manusia sebagai makhluk ekonomi, melakukan segala upaya untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan membuka bisnis. Akibatnya, beraneka ragam bisnis baru muncul dengan nama atau logo beragam yang menggambarkan ciri khas mereka. Nama atau logo yang digunakan untuk memperkenalkan produk dikenal juga dengan istilah merek. Merek sebagai tanda yang memiliki unsur sebagai pembeda dalam kegiatan usaha, seharusnya menjadi ciri khas suatu kegiatan usaha. Namun pada praktiknya, tidak jarang ditemukan kesamaan jenis usaha dengan merek serupa antara satu kegiatan usaha dengan yang lainnya. Terkait hal ini sesungguhnya sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perpu Ciptaker”), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”), serta Permenkumham No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek (“Permenhumkam 12/21”).
Dalam peraturan perundangan tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa, “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Dengan demikian, pendaftar merek yang pertama kali mendaftarkan merek baru, memiliki perlindungan hukum untuk menggunakan mereknya tanpa diganggu oleh pihak lain.
Pendaftaran Merek
Permohonan pendaftaran merek diajukan kepada Kementrian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan mengisi formulir rangkap 2 (dua) dalam bahasa Indonesia. Formulir dapat diisi baik oleh pemohon, maupun kuasanya dan dapat diajukan secara elektronik, maupun non-elektronik.
Pendaftaran merek merupakan hal yang cukup krusial untuk dilakukan. Apabila tidak mendaftarkan mereknya, merek tersebut tidak dilindungi oleh hukum. Sehingga apabila merek tersebut ditiru, disalahgunakan atau dipergunakan sebagai tindakan melanggar hukum yang kemudian merugikan, pemilik merek tidak dapat menempuh jalur hukum karena tidak memiliki jaminan dan perlindungan. Padahal, penyelesaian kasus pelanggaran merek bertujuan agar pelaku pelanggaran merek tidak lagi memakai merek yang menyerupai pada pokok atau keseluruhan dari merek yang terkenal atau bahkan menghentikan aktivitas produksinya.
Indonesia menganut asas first to file system, yang mana berarti perlindungan hukum terhadap sebuah merek hanya akan diberikan kepada pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran untuk merek tersebut. Namun tidak sembarang permohonan pendaftaran merek dapat diterima, melainkan terdapat beberapa ketentuan penting yang harus diperhatikan. Merek yang tidak dapat didaftarkan kepada DJKI tertuang pada Pasal 20 Perpu Ciptaker, yakni apabila merek :
Kemudian lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 21 UU MIG yang menyatakan bahwa Kemenhumkam akan menolak permohonan merek apabila memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan :
Merek juga akan ditolak apabila :
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa merek yang serupa, meskipun tidak sama, tetap tidak dapat didaftarkan. Semisalkan tetap digunakan secara diam-diam, pelaku usaha tersebut dapat digugat atas pelanggaran merek.
Pelanggaran Merek
Pelanggaran merek dapat terjadi apabila terdapat pihak yang tidak memiliki hak, menggunakan merek dengan persamaan pada pokok atau keseluruhannya terhadap merek yang terdaftar. Gugatan diajukan melalui Pengadilan Niaga oleh pemilik merek dan/atau penerima lisensi dengan petitum untuk meminta ganti rugi dan/atau menghentikan semua perbuatan yang berkaitan dengan merek tersebut. Apabila penggugat tidak ingin menempuh jalur litigasi, maka dapat digunakan juga jalur non-litigasi seperti halnya arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya.
Apabila melalui jalur litigasi, maka selama dalam proses pemeriksaan, pemilik merek tersebut dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menghentikan tergugat dalam melaksanakan kegiatan produksi, peredaran dan/atau perdagangan barang jasa yang menggunakan merek tersebut tanpa hak. Setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim dapat memerintahkan tergugat untuk menyerahkan barang atau nilai barang yang menggunakan merek tersebut.
Oleh karena itu, dalam membuat suatu merek, hendaknya kita berhati-hati agar tidak terbelit pada kasus pelanggaran merek. Namun pada dasarnya, yang dapat memutuskan nama/merek tersebut mengandung persamaan atau tidak dengan merek lain yang sudah terdaftar, ialah pemeriksa di Kantor Direktorat Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Maka dari itu, seyogyanya kita mendaftarkan merek yang kita gunakan agar terhindar dari plagiarisme dan gugatan pelanggaran merek oleh pihak lain.