Pakar Hukum: KPK Disarankan Menyewa Detektif Swasta untuk Mencari DPO Kirana Kotama di AS

18 August 2023 | 35
Logo KPK.(ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

MediaJustitia.com: Pakar hukum menyarankan pemerintah Indonesia menyewa detektif swasta untuk mencari daftar pencarian orang (DPO) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kirana Kotama. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.

Kirana disebut mendapatkan permanent resident atau izin tinggal tetap dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Namun, KPK mengaku belum mengetahui pasti titik keberadaan Kirana Kotama.

Menurut Hikmahanto, KPK kesulitan untuk mencari DPO Kirana Kotama tanpa bantuan detektif swasta. 

“Pertanyaannya, pemerintah Indonesia pakai detektif enggak untuk nyari orang? Kalau enggak ya sulit karena polisi Amerika juga enggak mau nyari nyariin,” katanya saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (14/8/2023)

Ia juga  menyebut, polisi di Amerika tidak mau mengeluarkan uang dari pajak warganya untuk mencari kepentingan negara lain.

Sementara itu, jika menggunakan jasa detektif swasta, hasil investigasi mereka bisa disampaikan kepada pemerintah Indonesia atau KPK untuk kemudian disampaikan kepada otoritas AS. 

“Karena otoritas setempat dia tidak mau ngeluarin uang dari pajak warganya untuk mencari kepentingan orang lain,” ujar Hikmahanto.

Menurutnya, meskipun red notice atas nama Kirana Kotama telah diterbitkan Interpol, namun ia baru bisa terdeteksi ketika melintasi pemeriksaan keimigrasian negara tertentu.

Keberadaannya tidak akan terdeteksi selama ia tidak melewati batas keimigrasian.

Karena tidak terdeteksi sebagai buronan Interpol, Kirana Kotama punya kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai penerima permanent resident dari pemerintah AS menurut dugaan Hikmahanto.

“Kalau red notice itu biasanya kalau ketahuannya ketika mereka mau keluar dari keimigrasian, namanya muncul tuh di situ,” katanya.

“Tapi kalau misalnya enggak (terdeteksi di Imigrasi), enggak bisa, enggak ketahuan,” tutur guru besar tersebut.

Untuk diketahui, KPK menyebut Kirana Kotama mendapat permanent resident dari pemerintah AS. Namun demikian, mereka belum mengetahui keberadaan pasti Kirana Kotama.

Dengan mengantongi permanent resident, Kirana Kotama bisa tinggal di AS. Hal ini menyulitkan KPK. Ucap  Asep Guntur Rahayu selaku Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.

 Meski demikian, pihaknya telah berkoordinasi dengan aparat hukum di Amerika.

“Bukan dilindungi. Jadi pertama, karena keberadaanya kita belum bisa mendeteksi pastinya ada di mana,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengklaim pemerintah AS termasuk Federal Bureau of Investigation (FBI), bersikap kooperatif, membantu kebutuhan KPK dalam mencari DPO maupun penanganan perkara lainnya.

“Enggak (dilindungi). Pemerintah Amerika sih kooperatif, FBI kalau kita minta apa, koordinasi itu,” ujar Alex.

Pada tahun 2017 atau sekitar 6 tahun lalu, Kirana ditetapkan sebagai tersangka. Ia merupakan Direktur Utama PT Pirusa Sejati. Kirana diduga menyuap General Manager Treasury PT PAL Arif Cahyana dan Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwa. Suap diberikan dalam pembelian kapal perang untuk Pemerintah Filipina. Dalam transaksi ini, Kirana berperan sebagai perantara.

Pada Kamis (30/3/2023), kasus PT PAL ditindak lanjuti melalui operasi tangkap tangan (OTT). KPK menciduk Arif setelah menerima suap dalam pecahan dollar Amerika Serikat (AS) dari Agus di MTH Square, Cawang, Jakarta Timur.

Setelah menangkap terduga pelaku lain, melakukan pemeriksaan, dan galar gelar perkara KPK menetapkan empat orang tersangka. Diantaranya ialah: Direktur Utama PT PAL M. Firmansyah Arifin, Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar, dan GM Treasury PT PAL Arief Cahyana, dan pejabat PT Pirusa Sejati Agus Nugroho.

Kirana disebut memberi uang 188.101,19 dollar AS kepada jajaran Direksi PT PAL, Firmansyah dan kawan-kawan dalam persidangan. Firmansyah dan pejabat PAL lainnya disebut mendapat komitmen fee 1,2 persen atau 1,087 juta dollar AS dari Ashanti Sales Inc. Uang itu bersumber dari fee yang diberikan pemerintah Filipina sebesar 4,76 persen dalam kontrak pembelian kapal senilai 86,96 juta dollar AS.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...