Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

7 November 2022 | 107
foto: Freepik.com

oleh Bidang Pengkajian dan Penelitian Hukum IKADIN Jakarta Selatan

Kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasa disingkat KDRT merupakan suatu Tindakan yang bersifat abusive oleh kaum laki-laki terhadap perempuan atau kaum perempuan terhadap laki-laki dalam ruang lingkup rumah tangganya. Artinya makna kekerasan dalam rumah tangga ini hanya berlaku jika para pihak tersebut terikat oleh suatu perkawinan yang diatur dalam undang-undang nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan.  

Undang-undang no. 23 tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1]

Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Domestic violence atau KDRT [Kekerasan Dalam Rumah Tangga] juga dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga.

Tercatat sejumlah negara telah lebih dahulu memberlakukan Undang-Undang mengenai domestic violence ini diantaranya Malaysia memberlakukan Akta Keganasan Rumah Tangga (1994), Selandia Baru, Australia, Jepang, Karibia, Meksiko dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Di Malaysia, tindak penderaan [penganiayaan] fisik terhadap perempuan cukup tinggi jumlahnya, penderaan tersebut dilakukan oleh suami atau teman lelaki korban. Di tahun 1989 diperkirakan sebanyak 1.800.000 (36%) perempuan Malaysia yang berumur diatas 15 tahun telah pengalami pemukulan secara fisik oleh suami atau teman lelakinya.[2]

Mengenai definisi tentang kekerasan dalam rumah tangga tidak dijelaskan secara gambling, namun kekerasan dalam rumah tangga biasanya meliputi:

  1. Kekerasan fisik.
    Kekerasan fisik dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang dapat menyebabkan rasa sakit hingga dapat menyebabkan kematian yang dirasakan oleh korban kekerasan fisik itu sendiri;
  1. Kekerasan Psikologis.
    Kekerasan psikologis dapat diartikan sebagai setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan atau rasa takut, mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada korban;
  1. Kekerasan Seksual.
    Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya;
  1. Kekerasan Ekonomi.
    Kekerasan ekonomi ini dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang membatasi orang untuk bekerja di dalam ataupun di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi atau menelantarkan anggota keluarganya.

Secara lebih luas, kekerasan fisik dapat dicontohkan sebagai berikut:

  • Memukul;
  • Menampar;
  • Mencekik;
  • Dan Tindakan lainnya yang berhubungan dengan kontak fisik yang menyebabkan rasa sakit yang dapat dirasakan oleh korbannya.

Contoh kekerasan psikologis:

  • Berteriak-teriak;
  • Menyumpah;
  • Mengancam;
  • Melecehkan;
  • Atau setiap perbuatan yang dapat membekas di ingatan si korban sehingga membuat korban merasa seolah-olah tidak berguna.

Contoh dari kekerasan seksual:

  • Melakukan Tindakan yang mengarah pada ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan dari korban.

Kekerasan berdimensi finansial contohnya seperti mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan financial dan sebagainya. [3]

 

PENEGAKAN HUKUM KASUS KDRT
Ada beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.

Penerapan Ancaman Pidana Penjara Dan Denda.
Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.[4]

Penerapan Pidana Tambahan
Sampai pada saat ini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

  1. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
  2. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Selain itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.

 

KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa catatan atas penegakan hukum dan penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT selama ini, cukup memberikan gambaran bahwa upaya penghapusan KDRT merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan penegakan hukum yang konsisten.

Sosialisasi mengenai Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintahnya serta informasi teknis penerapannya di kalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan kebutuhan mendesak yang perlu segera dilaksanakan dengan baik dan secara komprehensif.

Penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi.

Selain itu dibutuhkan pula kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap dan kolusi di seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang terkait.

Jika membutuhkan bantuan hukum, silahkan datang langsung ke POSBAKUM IKADIN JAKARTA SELATAN di Gedung Lina Lt. 6. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan atau hubungi Sekretariat IKADIN JAKARTA SELATAN di no.081290098838.

__________

[1] Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

[2] Rashidah Abdullah et all, Kes Memukul Wanita di Malaysia: prevalens, masalah dan sikap orang awam (Selangor Darul Ehsan Malaysia: WAO, 2000), hal. 6

[3]  Luhulima, Achie ed. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Wacth” Pusat  Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia. h. 11

[4] https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=677:penegakan-hukum-kejahatan-kekerasan-dalam-rumah-tangga&catid=101&Itemid=181

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...